SUARA UTAMA- Pendidikan adalah hak semua anak bangsa. Kalimat ini tidak hanya menjadi jargon, tapi juga mandat konstitusi. Namun faktanya, kesenjangan pendidikan di Indonesia masih nyata terasa, terutama ketika kita melihat ke wilayah-wilayah pelosok.
Ada sekolah dengan fasilitas lengkap, guru berstatus PNS, dan siswa yang terbiasa mengakses teknologi. Tapi ada pula sekolah yang kekurangan guru, ruang kelas seadanya, serta anak-anak yang harus berjalan jauh, bahkan menyeberangi sungai, demi mendapatkan hak belajar.
Mengapa ketimpangan ini masih terjadi?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketimpangan di Lapangan
Salah satu masalah mendasar terletak pada status dan distribusi guru. Di banyak daerah terpencil, guru honorer masih mendominasi, dengan kesejahteraan yang jauh dari layak. Banyak dari mereka yang menerima honor tidak lebih dari uang bensin, tapi tetap menjalankan tugas dengan dedikasi tinggi.
Ironisnya, beban kerja justru kerap lebih berat. Mereka dituntut menguasai teknologi, mengikuti berbagai pelatihan, dan mengajar di kelas dengan kondisi seadanya. Sementara di kota-kota besar, tak jarang guru justru menumpuk, bahkan kesulitan mendapatkan jam mengajar penuh.
Tak hanya itu, persepsi masyarakat juga turut memperparah keadaan. Sekolah-sekolah kecil di desa sering dianggap “kurang menjanjikan”, padahal mereka menjalankan kurikulum yang sama dan memiliki potensi yang sama besar, jika diberi kesempatan.
Tantangan Teknologi dan Akses
Digitalisasi pendidikan yang digaungkan pasca pandemi juga menyoroti kesenjangan lain: akses terhadap teknologi. Di kota, siswa belajar lewat gawai dan platform digital. Tapi di pelosok, banyak anak yang bahkan belum terbiasa menggunakan perangkat digital, karena tidak tersedia.
Platform belajar seperti Merdeka Mengajar, meski sangat bermanfaat, belum sepenuhnya bisa menjangkau sekolah-sekolah dengan keterbatasan infrastruktur. Akibatnya, para guru di daerah tertinggal sering merasa tertinggal secara sistem.
Apa Solusinya?
Pertama, pemerintah perlu mempercepat penyelesaian masalah status dan kesejahteraan guru honorer. Program rekrutmen PPPK harus dilanjutkan dengan pengawasan ketat, agar benar-benar menyasar mereka yang telah lama mengabdi.
Kedua, pemerataan fasilitas pendidikan menjadi keharusan. Sekolah-sekolah kecil tidak boleh dianaktirikan. CSR perusahaan, APBD, hingga gotong royong masyarakat bisa menjadi alternatif solusi jangka pendek.
Ketiga, distribusi guru harus dilakukan lebih adil. Program seperti Guru Penggerak dan Guru Garis Depan sudah baik, namun harus dijaga kesinambungannya dan diperluas jangkauannya.
Keempat, edukasi publik perlu terus dilakukan. Masyarakat perlu paham bahwa kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh nama besar sekolah, tetapi oleh lingkungan belajar yang sehat dan dukungan guru yang kompeten.
Terakhir, pemerintah harus memastikan digitalisasi pendidikan tidak menciptakan jurang baru. Platform pembelajaran harus ramah akses, dan dukungan perangkat serta pelatihan harus menjangkau semua wilayah.
Penutup
Kesenjangan pendidikan adalah PR besar kita bersama. Selama masih ada anak yang sulit mengakses pendidikan layak hanya karena tempat tinggalnya, maka cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa belum sepenuhnya tercapai.
Pendidikan bukan hanya soal ruang kelas, tapi soal harapan. Dan harapan itu seharusnya milik semua anak, di mana pun mereka tinggal.
Editor : Nafian Faiz
Sumber Berita : Yoni Wahyu Sampurna, S.Pd.Gr. — Guru Bahasa Indonesia SMPN Satu Atap 1 Rawajitu Timur, Tulang Bawang














