SUARA UTAMA – Surabaya, 3 Desember 2025 – Indonesia memasuki era baru dalam tata kelola pajak. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mulai menerapkan model pengawasan yang dikendalikan algoritma dan data konkret, menggantikan pendekatan tradisional yang bergantung pada intuisi fiskus serta pemeriksaan manual. Transformasi ini disebut sebagai langkah modernisasi sistem pajak nasional.
Namun menurut Eko Wahyu Pramono, S.Ak, Pemegang Izin Kuasa Hukum (IKH) Pengadilan Pajak, perubahan ini tidak hanya soal efisiensi, tetapi juga menyimpan risiko terhadap keadilan fiskal. Ia menegaskan bahwa negara kini berada di titik krusial antara percepatan teknologi dan pentingnya mempertahankan ruang dialog manusia.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Negara Beralih ke Mekanisme Pajak Berbasis Mesin
Dengan sistem baru, DJP mampu menandai anomali data secara otomatis mulai dari faktur pajak yang tercatat tetapi belum dilaporkan, bukti potong yang tidak muncul di SPT, hingga transaksi yang dianggap memenuhi kriteria risiko tertentu. Sistem berjalan cepat dan presisi.
Menurut Eko, justru di sinilah letak persoalan yang harus diantisipasi.
“Ketika hasil analisis komputer dianggap selalu benar, ruang koreksi manusia bisa makin sempit. Algoritma dibangun dari asumsi manusia dan tidak pernah sepenuhnya netral,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa kepercayaan publik terhadap akurasi mesin dapat menciptakan ilusi objektivitas. Jika tidak disertai pengawasan etis, negara berpotensi menjadi sangat efisien tetapi kurang memberi ruang empati.
Konsultan Pajak Hadapi Perubahan Peran yang Signifikan
Profesi konsultan pajak menjadi pihak yang terdampak langsung. Peran mereka tidak lagi sekadar menafsirkan regulasi, tetapi harus memahami cara kerja algoritma yang digunakan DJP untuk memetakan risiko.
“Konsultan pajak wajib memahami bagaimana data klien diproses, dihubungkan, dan diberi skor oleh mesin. Tanpa kemampuan itu, otomatisasi dapat menggeser fungsi mereka,” jelas Eko.
Namun ia menegaskan bahwa mesin tidak mampu membaca konteks bisnis, tekanan operasional, atau membedakan kesalahan administratif dari niat menghindari pajak. Di sinilah relevansi manusia tetap diperlukan.
Dunia Usaha Terancam Dehumanisasi Pajak
Pelaku usaha kini memasuki era kepatuhan digital bukan hanya patuh secara hukum, tetapi juga harus sinkron secara sistem.
Kesalahan input, perbedaan waktu pencatatan, atau keterlambatan minor dapat langsung memicu tindak lanjut.
Eko menilai kondisi ini dapat menimbulkan rasa terintimidasi.
“Jika setiap ketidaksesuaian data otomatis dianggap sebagai risiko, kepatuhan yang muncul adalah kepatuhan karena takut. Padahal kepatuhan sukarela bertumbuh dari rasa diperlakukan secara adil, bukan dari tekanan mesin,” tegasnya.
Ia menilai bahwa relasi fiskal akan terdegradasi jika seluruh proses hanya bertumpu pada logika statistik.
Menjaga Modernisasi Tetap Berpihak pada Keadilan
Eko menegaskan tiga prinsip penting yang harus dijaga:
- Sistem harus dapat dijelaskan.
Wajib pajak berhak mengetahui alasan suatu data dinilai menyimpang dan parameter apa yang dipakai mesin. - Keputusan akhir tetap harus berada pada manusia.
Algoritma hanya memberi sinyal awal, bukan vonis. - Dialog administratif tidak boleh hilang.
Relasi manusia tetap harus menjadi fondasi kepatuhan.
“Mesin mampu menghitung, tetapi tidak dapat menakar keadilan. Karena itu manusia tetap harus menjadi penentu utama,” ujarnya.
Penutup
Digitalisasi pajak membawa peningkatan efisiensi dan akurasi. Namun menurut Eko Wahyu Pramono, S.Ak, masa depan sistem perpajakan Indonesia sangat ditentukan oleh kemampuan negara menyeimbangkan teknologi dengan nilai-nilai keadilan.
“Pajak bukan hanya tentang data yang cocok di layar sistem, tetapi tentang kepercayaan warga kepada negara. Dan kepercayaan dibangun melalui perlakuan yang adil, bukan semata-mata melalui algoritma,” tutupnya.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














