SUARA UTAMA- Ilmu dalam Islam adalah sebuah anugerah yang sangat berharga. Dalam pandangan Islam, menuntut ilmu adalah ibadah, dan orang yang berilmu memiliki kedudukan yang sangat mulia. Islam tidak hanya mendorong umatnya untuk senantiasa mencari ilmu dan mengembangkan diri bahkan islam sangat melarang kebodohan.
Rasulullah Saw bersabda ; Qoolan Nabiyu Shalallaahu ‘alaihi wasallam. Kun ‘aliman, au muta’alliman, au mustami’an, au muhibban. Walam takun khoomisan, fatahlik. “Nabi SAW bersabda ;
1. Jadilah engkau orang berilmu, atau
2. Orang yang menuntut ilmu, atau
3. Orang yang mau mendengarkan ilmu, atau
4. Orang yang menyukai ilmu. dan janganlah engkau menjadi orang yang kelima maka kamu akan celaka” (HR. Baihaqi).
Rasul SAW memerintahkan umatnya menjadi ‘Alim (orang berilmu, guru, pengajar, ustad, kyai). Jika belum sanggup, jadilah Muta’allimaan (orang yang menuntut ilmu, murid, pelajar, santri) atau menjadi pendengar yang baik (Mustami’an), paling tidak menjadi Muhibban pecinta ilmu, simpatisan pengajian, donatur yayasan, lembaga dakwah dan pendidikan dengan harta, tenaga, atau pikiran, atau mendukung majelis-majelis ilmu. Rasul SAW menegaskan, jangan jadi orang yang kelima (Khoomisan), yaitu tidak jadi guru, murid, pendengar, juga tidak menjadi pecinta ilmu. Celakalah golongan kelima ini. “Fatahlik!” tegas beliau SAW.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pertama : kun ‘aliman (jadilah orang yang berilmu). Orang berilmu adalah orang yang mengetahui dan memahami secara mendalam subjek keilmuan tertentu. Alim di sini tidak selalu berarti hanya memguasai di bidang ilmu agama. Alim (orang berilmu) bias disamakan dengan istilah intelektual. Seorang alim/intelektual berarti orang yang menguasai ilmu pada area tertentu. Karena pemahaman dan kemampuannya itu, dia secara moral dan profesional berhak, bahkan dalam beberapa hal, wajib untuk mendidik dan menjabarkan ilmunya kepada khalayak.
Kedua: aw muta’alliman (atau jadilah penuntut ilmu). Jika engkau bukan seorang yang alim, maka hendaklah kamu menuntut ilmu kepada orang yang memiliki ilmu. Posisi kedua ini sesungguhnya adalah konsekuensi logis dari orang yang ingin menapak untuk menjadi alim. Jika kita bukan orang yang berilmu, maka satu-satunya pintu yang harus kita lalui agar kita memahami sesuatu adalah menuntut ilmu pada orang yang memiliki ilmu di bidang yang kita ingin mengetahuinya.
Ketiga: aw mustami’an (atau jadilah orang yang mendengarkan [orang alim yang menjelaskan ilmunya]). Posisi ketiga ini memang mirip dengan posisi kedua karena orang yang mendengarkan perkataan orang alim pada hakekatnya adalah orang yang menuntut ilmu. Bedanya adalah jika seorang muta’allim menuntut ilmu dengan sikap aktif (sebagaimana yang biasa dilakukan siswa atau mahasiswa atau santri di pesantren), seorang mustami’ di sini lebih berkonotasi pasif. Dia hanya mendengarkan tanpa dituntut oleh tugas-tugas pengembangan keilmuan sebagaimana yang harus dijalankan oleh seorang siswa atau mahasiswa atau santri di pesantren.
Keempat: aw muhibban (atau jadilah orang yang mencintai [ilmu]). Jika kamu bukan orang yang berilmu, bukan juga seorang yang memiliki kesempatan untuk sekolah atau nyantri, juga tidak memiliki waktu untuk sekedar menjadi pendengar pasif di berbagai majelis ta’lim, setidaknya jangan menjadi seorang pembenci ilmu.
“Orang yang mencintai ilmu, sekalipun saat ini belum memiliki kesempatan untuk menguasainya, dia tidak akan menjadi manusia pembunuh ilmu. Tapi bagi orang bodoh yang membenci ilmu, selamanya dia akan berada dalam kebodohan dan ada kemungkinan menjadi orang yang tidak segan-segan menghancurkan forum-forum ilmiah.”
Kelima: wa la takun khomisan (janganlah menjadi orang kelima). Jika orang bodoh saja dianggap sebagai keburukan, maka ada keburukan yang sangat membahayakan, yaitu tipe orang kelima. Tipe orang kelima adalah orang bodoh, tapi tidak mau menuntut ilmu, tidak mau mendengarkan orang yang berilmu, tidak memiliki kecintaan terhadap ilmu, tapi menganggap diri sebagai orang alim. Bahaya dari manusia tipe kelima ini adalah daya rusaknya ke Masyarakat.
Ilmu sangat penting untuk dicari serta di kembangkan untuk menunjang masa depan kita nanti. dengan berilmu kita dapat mengetahui mana yang baik mana yang buruk, mana yang salah dan mana yang benar, tingkat kedewasaan dalam mengambil keputusan, jiwa kepemimpinannya yang kuat, juga banyak hal bermanfaat lainnya.
Lalu bagaimana dengan hadirnya orang bodoh yang pada zaman sekarang, kerap kali berkedok ulama dan orang alim lalu ia mengelabui banyak orang lain dengan memberikan ujaran kebencian. Fenomena ini semakin mengkhawatirkan karena dapat menyesatkan banyak orang dan merusak tatanan sosial.
Maka dari itu, bagi kalian yang walaupun memiliki sedikit ilmu, jangan menjadi orang yang membodohi diri sendiri atau bahkan orang lain, dan bagi kalian juga yang tidak memiliki ilmu maka diamlah, setidaknya jangan membodohi dan menyesatkan orang lain. Karena sesungguhnya, manusia yang baik adalah mereka yang memberikan banyak manfaat bagi orang lain. Semoga kita termasuk dalam kategori manusia yang bermanfaat.
Penulis : Abdul Khalik
Editor : Redaksi Suara Utama
Sumber Berita : Dari berbagai sumber