SUARA UTAMA, Jakarta – Pada 18 Juni 2025, Penurunan realisasi penerimaan pajak nasional hingga Mei 2025 yang tercatat sebesar Rp683,3 triliun turun 10,14% dibandingkan periode sama tahun lalu memicu sorotan publik. Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, dalam konferensi pers “APBN Kita” (17/6/2025), mengungkapkan bahwa lonjakan pengembalian pajak atau restitusi menjadi salah satu penyebab utamanya.
Sektor pertambangan menjadi salah satu fokus, menyusul perubahan regulasi dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Nomor 7 Tahun 2021 yang telah diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2025. Perubahan tersebut menjadikan komoditas seperti batu bara, gas, minyak, dan logam sebagai Barang Kena Pajak (BKP). Namun, sesuai Pasal 7 ayat (2) huruf a UU PPN, ekspor atas BKP tetap dikenakan tarif 0%, sehingga perusahaan tetap berhak mengajukan restitusi atas PPN produksi.
Menanggapi hal ini, Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) menyampaikan kekhawatiran terhadap beban fiskal akibat restitusi PPN ekspor hasil tambang. Ketua Umum IWPI, Rinto Setiyawan, mengungkapkan bahwa dalam kurun 2020–2023, nilai restitusi enam komoditas tambang utama batu bara, besi/baja, gas alam, minyak bumi, lignit, dan minyak mentah telah mencapai sekitar Rp253 triliun.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
IWPI mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan perubahan kebijakan dengan menerapkan tarif PPN ekspor sebesar 5–10 persen untuk hasil tambang. Usulan ini bertujuan untuk:
Meningkatkan kontribusi sektor tambang terhadap penerimaan negara,
Mengurangi tekanan fiskal akibat restitusi berskala besar,
Menegakkan prinsip keadilan konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945.
IWPI menegaskan bahwa meski restitusi adalah hak wajib pajak, negara memiliki kewenangan untuk merancang mekanisme perpajakan yang lebih adaptif terhadap sektor strategis. “Prinsip keadilan fiskal harus menjadi pijakan utama agar manfaat pengelolaan sumber daya alam dinikmati secara merata,” tulis IWPI dalam pernyataan tertulisnya.
Anggota IWPI, Eko Wahyu Pramono, menambahkan bahwa pembentukan regulasi perpajakan yang lebih selektif terhadap ekspor tambang dapat memberikan ruang fiskal yang lebih sehat bagi pemerintah. “Bukan berarti kami menolak hak restitusi, tetapi harus ada mekanisme pembatasan agar tidak menimbulkan ketimpangan. Bila terus dibiarkan, restitusi skala besar ini berpotensi menggerus kemampuan APBN dalam mendanai sektor esensial seperti pendidikan dan kesehatan,” jelas Eko.
Ia juga menekankan bahwa sektor tambang sebagai pemanfaat sumber daya strategis harus berkontribusi lebih adil terhadap keuangan negara. “Negara memiliki hak konstitusional untuk memastikan hasil bumi digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Skema perpajakan perlu disesuaikan agar tak hanya berpihak pada efisiensi korporasi, tetapi juga keberlanjutan fiskal,” pungkasnya.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama