SUARA UTAMA – Jakarta, 25 September 2025 – Proyek sistem inti administrasi perpajakan (Coretax) kembali menjadi sorotan. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bahkan menyatakan siap menghadirkan tenaga ahli teknologi informasi dari luar negeri jika tim internal tidak mampu memperbaiki gangguan dalam satu bulan. Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengakui sistem sempat mengalami downtime dan kini masih dalam tahap stabilisasi.
Namun, pernyataan tersebut dinilai masih melihat persoalan Coretax sebatas masalah teknis. Padahal, menurut sejumlah pihak, akar masalah justru terletak pada urutan pembangunan sistem yang keliru sejak awal.
Tahapan Ideal: Proses Bisnis → Regulasi → Teknologi
Rinto Setiyawan, Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), menegaskan bahwa dalam proyek transformasi digital, khususnya di sektor publik, terdapat tiga tahap yang semestinya dijalankan secara berurutan:
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
- Proses Bisnis
Seluruh alur kerja dan kebutuhan harus dipetakan dengan detail, termasuk mekanisme perpajakan, kebutuhan data, serta interaksi antara wajib pajak, petugas, dan sistem. - Regulasi
Setelah proses bisnis jelas, barulah aturan hukum disusun agar mendukung implementasi. Regulasi berfungsi sebagai kerangka yang memastikan praktik selaras dengan tujuan kebijakan. - Teknologi
Teknologi menjadi instrumen terakhir yang digunakan untuk menjalankan proses bisnis yang matang dan sesuai regulasi.
Coretax: Urutan yang Terbalik
Menurut Rinto, dalam pembangunan Coretax justru terjadi pembalikan urutan:
- Regulasi hadir lebih dulu melalui Perpres No. 40 Tahun 2018, padahal proses bisnis belum terdefinisi rinci.
- Teknologi kemudian dibeli menggunakan sistem Commercial Off-The-Shelf (COTS) dari luar negeri, lengkap dengan proses bisnis bawaan.
- Proses bisnis dipaksa menyesuaikan dengan teknologi yang sudah terlanjur dipilih.
“Logika pembangunan sistem ini kebalik. Wajar jika hasilnya sulit berjalan optimal,” ujar Rinto.
Risiko dari Urutan yang Salah
Jika proses bisnis tidak matang sejak awal, regulasi berisiko hanya menjadi aturan generik, sementara teknologi dipaksa menutup kekosongan yang seharusnya diatur oleh tata kelola. Konsekuensinya antara lain:
- Sistem yang rapuh dan sulit stabil.
- Potensi pembengkakan biaya akibat revisi berulang.
- Menurunnya kepercayaan publik terhadap administrasi pajak.
Target perbaikan dalam waktu satu bulan, seperti yang dicanangkan Menteri Keuangan, dinilai hanya menyentuh gejala di permukaan tanpa menyelesaikan akar masalah.
Jalan Keluar: Kembali ke Fondasi
IWPI menilai perekrutan ahli IT dari luar mungkin membantu jangka pendek, tetapi tidak akan menuntaskan persoalan struktural. Pemerintah perlu berani kembali ke fondasi:
- Audit menyeluruh proses bisnis untuk memastikan alur perpajakan jelas dan lengkap.
- Sinkronisasi regulasi agar aturan mendukung praktik di lapangan.
- Penyesuaian teknologi dengan kebutuhan nyata Indonesia, bukan sekadar adaptasi sistem asing.
Transformasi digital, menurut IWPI, bukan soal teknologi paling canggih, melainkan soal membangun pondasi proses bisnis dan regulasi yang solid. Tanpa itu, Coretax berisiko tetap menjadi proyek ambisius yang rapuh di dalam.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














