SUARA UTAMA – Pandeglang, 16 Januari 2025 – Mengawali tahun dengan rentetan polemik terkait pengelolaan keuangan daerah, Kabupaten Pandeglang kembali disorot sebagai potret buruk tata kelola pemerintahan yang jauh dari prinsip good governance. Hal ini ditandai dengan keterlambatan pembayaran penghasilan tetap (Siltap) perangkat desa, gejolak di kalangan ASN yang menuntut pencairan tambahan penghasilan (Tamsil) bagi PPPK, Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP), Tunjangan Profesi Guru (TPG) tahun 2024, hingga gaji Januari 2025.
Tidak berhenti di situ, persoalan semakin kompleks dengan tuntutan para honorer yang meminta kepastian untuk diangkat menjadi PPPK atau ASN. Menurut Iding Gunadi Turtusi, seorang intelektual publik asal Banten, fenomena ini tidak semata-mata menunjukkan kelalaian administratif, tetapi juga krisis struktural dalam tata kelola birokrasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ketidakmampuan pemerintah daerah memenuhi kewajibannya secara tepat waktu adalah indikator jelas dari kegagalan manajemen fiskal yang kronis. Kompleksitas ini semakin diperparah oleh beban janji politik yang tidak sebanding dengan kapasitas pemerintahan daerah untuk merealisasikannya. Janji tanpa didukung oleh kinerja yang memadai hanya akan menumpuk frustrasi publik, baik di kalangan ASN, honorer, maupun masyarakat umum,” ujar Iding.
Ia menambahkan bahwa janji politik yang tidak terwujud tersebut menjadi beban yang semakin berat, sehingga menciptakan tumpukan masalah yang saling berkelindan. “Ketika janji-janji politik untuk meningkatkan kesejahteraan ASN, PPPK, dan honorer tidak direalisasikan dengan tata kelola pemerintahan yang baik, yang terjadi adalah akumulasi kekecewaan yang sulit diredam. Ini menciptakan dinamika sosial yang rapuh dan memperbesar jurang ketidakpercayaan terhadap pemerintah daerah,” tegasnya.
Situasi ini, lanjut Iding, juga diperparah oleh buruknya pembangunan infrastruktur dan fasilitas pelayanan publik. “Kondisi jalan yang rusak, fasilitas kesehatan dan pendidikan yang minim, hingga keterbatasan layanan administratif adalah potret nyata dari absennya visi pembangunan yang terintegrasi. Padahal, elemen-elemen tersebut adalah fondasi dasar dari negara kesejahteraan,” katanya.
Dalam analisis Iding, kondisi ini juga mencerminkan absennya akuntabilitas publik yang seharusnya menjadi landasan moral dalam penyelenggaraan pemerintahan. “Birokrasi yang gagal mengelola anggaran tidak hanya menunjukkan inefisiensi, tetapi juga mengingkari mandat sosialnya. Pemerintah daerah seharusnya tidak hanya memikirkan bagaimana membelanjakan anggaran, tetapi juga bagaimana merancang kebijakan fiskal yang berorientasi pada kesejahteraan publik secara berkelanjutan,” tambahnya.
Ia juga menyoroti bahwa situasi ini berpotensi memperlebar jurang ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. “Ketika tata kelola pemerintahan tidak mampu mencerminkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan responsivitas, yang terjadi adalah pengikisan legitimasi politik. Dalam jangka panjang, hal ini tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga mengancam stabilitas politik daerah.”
Iding menutup pernyataannya dengan mendesak pemerintah daerah untuk segera melakukan reformasi struktural. “Yang dibutuhkan Pandeglang saat ini bukan hanya solusi parsial, tetapi restrukturisasi menyeluruh dalam tata kelola pemerintahan dan manajemen keuangan. Jika tidak segera diatasi, gejolak ini hanya akan menjadi awal dari krisis yang lebih besar,” tutupnya.
Sumber Berita : Pandeglang