Oleh: Eko Wahyu Pramono – Mahasiswa Ilmu Hukum
SUARA UTAMA – Di tengah riuhnya diplomasi dagang dan deretan lobi lintas benua, pemerintah Indonesia mengabarkan capaian besar: kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat. Salah satu poinnya cukup “inovatif” transfer data pribadi warga negara Indonesia ke Negeri Paman Sam. Katanya sih untuk kepentingan ekonomi digital. Tapi izinkan saya bertanya: sejak kapan kedaulatan digital bisa diperdagangkan layaknya kontainer beras atau kerupuk?
Dalam dokumen resmi Gedung Putih, Indonesia disebut akan “memberikan kepastian” agar data pribadi bisa dipindahkan ke Amerika Serikat. Kabar ini tentu menggembirakan setidaknya bagi raksasa teknologi Silicon Valley yang memang sudah lama haus data. Tapi bagi warga negara biasa yang bahkan belum hafal isi Pasal 58 UU PDP, kabar ini terdengar seperti menjual kunci rumah sendiri ke tetangga, dengan harapan mereka tidak membuka kulkas.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Juru bicara dari Istana menyebut bahwa pertukaran data ini “bukan pengelolaan”, hanya “treatment management”. Analogi yang dipakai juga tak kalah kreatif: katanya seperti gliserol sawit, yang bisa jadi pupuk atau jadi bom. Maka, data pribadi pun rupanya dianggap sefleksibel itu: bisa jadi alat dagang, bisa juga jadi ancaman. Lucu juga, sebab kalau logika ini dipakai, maka paspor, rekam medis, atau daftar utang warga bisa jadi “komoditas ekspor non-tradisional” yang menjanjikan.
Presiden Prabowo memilih untuk tidak berbicara detail. Mungkin karena sedang sibuk, atau memang detailnya belum dirancang. Namun di ruang senyap, DPR mulai mengangkat alis. Ketua DPR Puan Maharani dan Komisi I DPR mengingatkan agar semua sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Betul sekali. Hanya sayangnya, UU ini belum benar-benar “hidup” aturan turunannya belum lengkap, lembaga otoritas pelindung datanya belum jalan, dan audit siber kita masih sekuat sinyal Wi-Fi di desa terpencil.
Yang jadi persoalan bukan hanya soal hukum, tapi soal kedaulatan. Kita selalu bangga menyebut Indonesia sebagai negara besar, tapi mengapa dalam urusan data, kita bersikap seperti penyewa lapak di pasar digital global?
Dengan dalih komersial, kita rela melepas data padahal sejarah membuktikan, data adalah tambang emas baru. Seharusnya yang kita jual adalah produk dari data, bukan datanya. Sama halnya seperti kita mengirimkan karet, bukan menyerahkan seluruh pohon beserta akarnya.
Transfer data ke luar negeri sejatinya bukan hal haram, asal ada kontrol, mekanisme pengawasan lintas yurisdiksi, dan yang paling penting: persetujuan eksplisit dari subjek datanya. Tanpa itu, transfer data hanyalah bentuk kolonialisme digital baru berbaju diplomasi ekonomi.
Kita perlu ingat, hubungan dagang yang sehat tak seharusnya membuat negara kita menjadi lumbung data gratis. Di era ini, siapa yang mengontrol data, ia yang mengontrol masa depan. Maka jika kita tak hati-hati, bukan tak mungkin kelak anak cucu kita hanya menjadi ‘user’ di tanah digital yang pernah kita jual separuhnya, demi secangkir kopi di meja negosiator.
Mari kita jaga data, sebelum seluruh privasi kita dicetak ulang di server negeri jauh. Jika diplomasi tak bisa melindungi rakyat, maka satir ini hanya akan menjadi elegi digital yang terlambat disadari.
Catatan Redaksi:
Artikel opini ini ditulis dari perspektif penulis yang merupakan mahasiswa ilmu hukum dan pemerhati isu-isu kedaulatan digital serta perlindungan data pribadi. Setiap opini yang tertuang di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi redaksi media ini.
Tulisan ini disusun sesuai dengan prinsip keberimbangan, kepentingan publik, dan kode etik jurnalistik, serta bertujuan untuk mendorong diskursus kritis dan partisipatif atas isu strategis dalam perjanjian dagang Indonesia–Amerika Serikat.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














