Ekonomi kerakyatan bukan sekadar bantuan, melainkan medan perjuangan. Setiap keputusan fiskal, setiap aliran modal, dan setiap kebijakan distribusi menentukan apakah rakyat bisa hidup layak atau tetap terjerat ketergantungan. Jalan ke sana tidak ditempuh dengan sedekah atau program karitatif semata. Ia menuntut keberanian untuk menata ulang kepemilikan, aliran nilai, dan relasi kuasa dalam tubuh ekonomi nasional.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejarah republik menunjukkan bahwa keberpihakan ekonomi sering lebih condong kepada pemilik modal, sementara rakyat pekerja dibiarkan menanggung ketidakpastian. Bantuan sosial, kredit mikro, atau pelatihan kewirausahaan kerap dibungkus narasi pemberdayaan, padahal hanya memperpanjang ketergantungan struktural. Negara menutup mata terhadap pertanyaan fundamental: siapa yang sesungguhnya menguasai kekayaan nasional dan siapa yang dibiarkan merana?
Warisan kolonial bukan sekadar struktur ekonomi eksploitatif, tetapi cara pandang yang menempatkan rakyat sebagai objek belas kasihan. Tanah digenggam korporasi, harga panen ditentukan tengkulak, akses pasar dikendalikan sistem logistik timpang. Dalam kondisi ini, negara tidak menegakkan keadilan, melainkan mengukuhkan subordinasi rakyat dengan cara halus.
Pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan sebagai angka PDB seringkali hanya menambah keuntungan segelintir korporasi. Harga tanah rakyat meroket, hak hidupnya tergerus, sementara angka statistik tampak menggembirakan di ruang rapat. Dalam skema semacam itu, kemiskinan dianggap masalah teknis, bukan hasil perampasan, dan ketimpangan dibungkus retorika efisiensi.
Karitas adalah wajah moral dari ketidakadilan ini. Bantuan pangan, uang tunai, atau subsidi sekolah menutup luka sosial tanpa menyembuhkannya. Negara yang hanya memberi bantuan, tanpa membongkar relasi kuasa, sesungguhnya memperkuat ketidakadilan dengan sopan santun.
Ekonomi kerakyatan menuntut pengakuan struktural. Kendali atas produksi, distribusi, dan konsumsi harus berada di tangan mereka yang bekerja. Tanah harus dijamin sebagai ruang hidup yang tidak bisa diperdagangkan semena-mena. Harga hasil panen harus adil, dan sistem distribusi didesain agar keuntungan tidak berhenti di ujung rantai pasok. Di sinilah ekonomi kerakyatan menjadi medan perjuangan, bukan proyek belas kasihan.
Koperasi adalah bentuk konkret demokratisasi ekonomi. Ia mengubah kepingan kecil kekuatan rakyat menjadi kekuatan produksi mandiri. Keputusan ekonomi ditentukan bukan oleh logika laba semata, tetapi oleh kebutuhan dan keberlanjutan hidup bersama. Koperasi produksi, distribusi, dan konsumsi harus menjadi pilar, bukan pelengkap laporan pemerintah. Negara wajib memberi jaminan regulasi, fiskal, dan infrastruktur agar koperasi tidak kalah dalam perlombaan dengan modal besar.
Negara tidak boleh netral dalam konflik antara rakyat dan pemilik modal. Netralitas adalah keberpihakan terselubung kepada yang kuat. Anggaran harus diarahkan untuk membangun kekuatan produksi rakyat, bukan mensubsidi investasi swasta yang mengejar insentif. Pajak progresif harus memperkuat koperasi, pertanian rakyat, dan unit produksi kecil, sementara pasar domestik dilindungi dari serbuan barang impor yang merugikan rakyat.
Kader ekonomi kerakyatan harus hadir di ladang, pasar, bengkel, lumbung, dan tempat produksi. Mereka harus belajar mengatur rantai distribusi, mendampingi koperasi, mencatat arus uang, dan memetakan kendala sistemik. Ekonomi tidak bisa direkayasa dari ruang rapat; ia lahir dari dapur-dapur kolektif yang berdenyut bersama rakyat.
Reforma agraria dan kedaulatan pangan bukan warisan usang, tetapi amanat yang terus disabotase. Tanah harus dikembalikan kepada penggarap, pasar harus ditata ulang oleh komunitas rakyat, dan produksi pangan harus memenuhi kebutuhan domestik, bukan ditentukan harga internasional. Distribusi kekayaan menjadi prinsip utama: satu persen yang menguasai hampir seluruh nilai tambah ekonomi harus dipertanyakan dan diubah. Redistribusi adalah keadilan, bukan belas kasihan.
Ekonomi kerakyatan menolak pertumbuhan instan yang menguntungkan segelintir orang. Ia menuntut keberanian moral dan kesetiaan politik. Melalui kerja kolektif, koperasi, dan distribusi adil, rakyat belajar menjadi tuan atas hidupnya sendiri. Kemerdekaan sesungguhnya bukan di tangan yang memberi bantuan, tetapi di tangan yang bekerja bersama, memproduksi bersama, dan membagi hasil dengan adil. Ekonomi kerakyatan bukan sekadar harapan, melainkan jalan nyata untuk menyusun kembali republik dari tangan rakyat itu sendiri.
Penulis : Ziqro fernando
Editor : Ziqro fernando














