Surabaya, 11 Juni 2025 – Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Fahri Hamzah, menyampaikan dua gagasan strategis untuk mendukung target ambisius Presiden Prabowo Subianto dalam membangun tiga juta unit rumah. Usulan tersebut menitikberatkan pada transformasi sistem perumahan nasional dari dominasi rumah tapak menuju hunian vertikal serta pembenahan mendasar atas mekanisme subsidi perumahan.
Dalam Simposium Nasional Sumitronomics yang digelar di JS Luwansa, Jakarta Selatan, Selasa (3/6/2025), Fahri mengemukakan perlunya pengenaan pajak tinggi terhadap pembangunan rumah tapak (landed house). Langkah ini, menurutnya, bertujuan mengalihkan preferensi masyarakat ke hunian vertikal seperti rumah susun dan apartemen, yang dinilai lebih efisien secara spasial.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Nanti yang bangun rumah tapak, pajaknya dinaikkan saja sampai dia tidak bisa tinggal di rumah tapak. Otomatis dia akan memilih rumah susun,” ujar Fahri di hadapan peserta simposium.
Ia menambahkan bahwa pembangunan rumah tapak di kota besar sudah tidak relevan, mengingat keterbatasan lahan. “Di kota-kota besar dunia sudah tidak ada lagi rumah tapak. Kita harus hentikan pembangunan rumah tapak di perkotaan,” katanya.
Selain itu, Fahri juga mendorong penghapusan subsidi pada sisi permintaan (subsidi bagi pembeli). Ia menilai skema tersebut tidak menyentuh akar permasalahan, yaitu tingginya harga tanah. Sebagai gantinya, ia mengusulkan agar negara lebih fokus memberikan subsidi terhadap ketersediaan tanah dan memanfaatkan lahan milik negara untuk proyek perumahan rakyat.
“Kalau tanahnya yang disubsidi dan dikendalikan negara, harga rumah bisa turun 40–50 persen.” terang Fahri. Ia juga menekankan pentingnya penyederhanaan proses perizinan, yang selama ini turut membebani biaya pembangunan.
Namun, di tengah potensi dukungan investor asing yang sudah menunjukkan minat terhadap proyek tiga juta rumah, Fahri mengungkapkan adanya hambatan mendasar: ketidaksiapan pemerintah dalam penyediaan data dan penguasaan lahan. “Banyak calon investor sudah siap, tapi saat ditanya tanahnya di mana, belum ada jawabannya. Karena saat ini Kementerian PKP belum punya otoritas atas penguasaan tanah,” ujarnya.
Sebagai solusi, ia menyatakan sedang memperjuangkan agar kewenangan pengelolaan lahan bisa langsung berada di bawah kementeriannya untuk memangkas birokrasi sektoral yang kerap menghambat.
Praktisi Pajak Beri Tanggapan: Fokus pada Keadilan dan Daya Dukung
Menanggapi usulan tersebut, Eko Wahyu, praktisi pajak sekaligus anggota Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), menyatakan bahwa meskipun ide untuk mendorong hunian vertikal masuk akal dalam konteks urbanisasi dan keterbatasan lahan, penerapan pajak tinggi pada rumah tapak perlu dikaji dengan hati-hati.
“Kebijakan fiskal harus adil dan proporsional. Kalau pajak rumah tapak dinaikkan drastis tanpa mempertimbangkan daya beli dan karakteristik wilayah, justru bisa memunculkan distorsi pasar dan beban baru bagi masyarakat kelas menengah,” ujar Eko.
Ia juga mengingatkan bahwa banyak masyarakat yang masih tinggal di daerah pinggiran kota atau kawasan non-perkotaan yang tidak cocok untuk hunian vertikal.
Terkait reformasi subsidi, Eko menyambut baik pendekatan berbasis suplai dengan syarat ada transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan tanah negara. “Jika benar tanah bisa disediakan dengan efisien dan birokrasi dipangkas, maka subsidi di sisi tanah bisa jauh lebih berdampak dibanding skema konvensional,” tuturnya.
Eko menyarankan agar pemerintah membuka dialog terbuka dengan para pelaku industri, asosiasi pajak, serta masyarakat sipil sebelum menerapkan kebijakan yang berpotensi mengubah lanskap perumahan nasional secara drastis.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Mas Andre Hariyanto