SUARA UTAMA – Jakarta, 30 Juli 2025 – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian materiil terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Selasa (29/7), dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari pihak pemerintah.
Yustinus Prastowo, yang hadir sebagai ahli, menyampaikan bahwa UU HPP merupakan tonggak penting dalam reformasi perpajakan nasional. Ia menegaskan bahwa kebijakan ini tidak hanya menyederhanakan regulasi, tetapi juga membawa transformasi struktural yang berlandaskan pada prinsip keadilan dan keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan rendah.
“Reformasi ini bertumpu pada asas ability to pay, di mana masyarakat berpenghasilan tinggi berkewajiban membayar pajak lebih besar, sementara kelompok menengah ke bawah tetap mendapat perlindungan,” ujar Yustinus di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai Suhartoyo.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia mencontohkan sejumlah kebijakan konkret, seperti kenaikan bertahap tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11% pada 2022 dan rencana kenaikan menjadi 12% pada 2025. Menurutnya, kebijakan ini dibarengi dengan pemberian fasilitas pajak bagi UMKM dan kelompok rentan.
Yustinus juga menyoroti peran sentral PPN dalam struktur penerimaan pajak nasional, yang mencapai Rp1.014,47 triliun atau sekitar 43% dari total penerimaan. Dengan karakteristik yang netral, efisien, dan konsumtif, PPN dinilai sejalan dengan praktik internasional dan mampu memperkuat fondasi fiskal negara.
Terkait Pasal 16B UU HPP, ia menjelaskan bahwa perubahan status barang dan jasa strategis dari tidak dikenai PPN menjadi dikenai PPN dengan fasilitas pembebasan merupakan langkah untuk memperluas basis pajak tanpa membebani masyarakat secara langsung.
“Pendekatan ini memperkuat keadilan vertikal dan horizontal, serta memperbaiki kualitas data perpajakan nasional,” tambahnya.
Yustinus turut menjelaskan keberadaan PMK Nomor 131 Tahun 2024 yang mengatur tarif efektif PPN. Dalam ketentuan ini, barang non-mewah dikenai tarif 11%, sementara tarif 12% hanya diberlakukan bagi barang mewah. Kebijakan ini, menurutnya, dirancang untuk menjaga stabilitas harga dan daya beli masyarakat.
Menanggapi paparan tersebut, praktisi pajak Eko Wahyu Pramono menyampaikan pandangannya. Ia mengapresiasi arah reformasi yang dibawa UU HPP, namun menilai bahwa implementasinya belum sepenuhnya mencerminkan prinsip keadilan fiskal yang menyeluruh.
“Secara prinsip, arah reformasi ini sudah benar. Namun dalam praktiknya, masyarakat belum sepenuhnya merasakan keadilan tersebut, khususnya mereka yang tinggal di pelosok-pelosok negeri,” ujarnya.
Eko menyoroti bahwa penerimaan pajak yang tinggi belum berbanding lurus dengan pemerataan pembangunan dan akses terhadap layanan publik yang layak. Ia mencontohkan masih timpangnya fasilitas pendidikan, layanan kesehatan, dan infrastruktur di daerah tertinggal.
“Jika pajak diklaim berpihak kepada masyarakat kecil, maka mereka juga berhak menikmati fasilitas dasar secara merata. Namun kenyataannya, akses terhadap pendidikan berkualitas dan layanan publik masih sangat terbatas di banyak wilayah terpencil,” jelasnya.
Ia juga menegaskan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan penerimaan pajak, agar tidak terpusat hanya di kota-kota besar atau terserap dalam program simbolik yang kurang berdampak.
“Evaluasi terhadap kebijakan PPN tidak bisa hanya berhenti pada angka-angka fiskal makro. Kita harus meninjau sejauh mana dampaknya menjangkau hingga tingkat desa, terutama dalam menjamin pemenuhan hak-hak dasar warga negara,” tutupnya.
Sidang lanjutan pengujian UU HPP ini menjadi momentum penting untuk mengkaji kembali keseimbangan antara kebutuhan fiskal negara dan prinsip keadilan sosial yang nyata bagi seluruh lapisan masyarakat.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














