SUARA UTAMA – Surabaya, 21 Desember 2025 – Video berdurasi sekitar satu menit memperlihatkan seorang nenek hendak membeli roti menggunakan uang tunai. Pegawai toko menolak uang tersebut dan meminta pembayaran dilakukan dengan QRIS. Nenek tampak bingung karena tidak membawa atau tidak memiliki aplikasi dompet digital di ponselnya. Situasi berlangsung di tengah antrean penumpang bus yang baru turun dari Halte Monas.
Unggahan video itu kemudian menuai perhatian luas dan menjadi perbincangan publik. Banyak pengguna internet mempertanyakan legalitas penolakan pembayaran tunai, terutama karena Indonesia masih dalam masa transisi menuju ekonomi digital dan literasi pembayaran non-tunai masih belum merata.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pendapat Praktisi Pajak
Praktisi perpajakan Eko Wahyu Pramono, S.Ak, pemegang Izin Kuasa Hukum (IKH) pada Pengadilan Pajak, turut memberikan komentarnya terhadap peristiwa tersebut. Eko yang bernaung dalam KKP Yulianto Kiswocahyono, SE., SH., BKP serta Subur Jaya Law Firm menilai bahwa tindakan penolakan pembayaran tunai seperti yang terjadi dalam video tersebut berpotensi melanggar asas hukum pembayaran dan perlindungan konsumen.
Menurut Eko, Rupiah masih merupakan alat pembayaran sah di seluruh wilayah NKRI. Ia menegaskan bahwa kewajiban menerima Rupiah telah diatur tegas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Dengan demikian, pelaku usaha tidak dapat menolak uang tunai tanpa dasar hukum yang jelas.
Eko menilai bahwa meskipun pembayaran digital seperti QRIS merupakan inovasi sistem pembayaran, penerapannya harus bersifat inklusif. Kebijakan internal merchant tidak boleh mengesampingkan hak-hak dasar konsumen, khususnya bagi kelompok masyarakat yang masih mengandalkan uang tunai.
Dalam perspektif perlindungan konsumen, Eko menyatakan bahwa tindakan penolakan pembayaran tunai dapat dikategorikan sebagai diskriminasi layanan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengamanatkan pelaku usaha untuk memperlakukan konsumen secara adil dan tidak merugikan pihak tertentu.
Dasar Hukum yang Mengikat Pelaku Usaha
Ketentuan hukum yang mengatur kewajiban penggunaan dan penerimaan Rupiah tertuang dalam Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Selain itu, ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan perlindungan terhadap tindakan pelaku usaha yang berpotensi diskriminatif.
Regulator sistem pembayaran nasional, dalam hal ini Bank Indonesia, juga telah menegaskan dalam berbagai sosialisasinya bahwa pembayaran digital adalah pilihan alternatif, bukan kewajiban mutlak, dan merchant tidak boleh menolak Rupiah tanpa alasan pengecualian sebagaimana diatur hukum.
Perspektif Digitalisasi Pembayaran
Eko menyampaikan bahwa digitalisasi ekonomi harus dikelola dengan pendekatan berkeadilan. Meskipun QRIS merupakan teknologi pembayaran yang membawa manfaat besar bagi efisiensi dan transparansi transaksi fiskal, faktanya tidak semua warga memiliki perangkat maupun literasi digital yang diperlukan untuk mengoperasikan aplikasi pembayaran tersebut.
Dalam kondisi seperti ini, hak masyarakat untuk melakukan transaksi tunai harus tetap dijamin. Lansia dan kelompok kecil serta pedagang tradisional masih menjadi segmen yang bergantung pada pembayaran fisik, sehingga perlu pendekatan transisi secara bertahap.
Mekanisme Pengaduan Konsumen Jika Dilaporkan
Jika ada konsumen yang hendak melaporkan peristiwa penolakan pembayaran tunai, jalur penyelesaian sengketa dapat dimulai dari pengaduan langsung kepada pihak manajemen gerai roti, dilanjutkan dengan pelaporan kepada Bank Indonesia sebagai regulator sistem pembayaran, serta lembaga perlindungan konsumen seperti BPKN, YLKI, dan Dinas Perdagangan setempat.
Penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dapat ditempuh apabila diperlukan putusan formal, dan gugatan perdata di Pengadilan Negeri dapat diajukan jika terbukti terjadi kerugian nyata bagi konsumen.
Seruan Evaluasi dan Kepastian Kebijakan
Eko menilai bahwa kasus viral ini harus menjadi refleksi bagi pemerintah dan regulator untuk menyediakan pedoman teknis yang lebih jelas mengenai batas penerapan kewajiban sistem pembayaran digital. Menurutnya, QRIS wajib ditempatkan sebagai alternatif pembayaran, bukan kewajiban yang menggugurkan kedudukan Rupiah sebagai alat pembayaran sah.
Ia menegaskan bahwa negara wajib hadir memastikan keadilan transisi sistem pembayaran, sehingga digitalisasi ekonomi tidak berujung pada eksklusi sosial terhadap konsumen yang belum siap beradaptasi dengan teknologi pembayaran.
Respons Pelaku Usaha Masih Ditunggu
Hingga berita ini dirilis, pihak manajemen gerai roti dan perusahaan yang menaunginya belum menyampaikan klarifikasi resmi atas viralnya kasus tersebut. Publik menantikan posisi resmi pihak gerai serta respons regulator sistem pembayaran seperti Bank Indonesia untuk memberikan kepastian dan arah kebijakan pembayaran di masa mendatang.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama












