SUARA UTAMA – Analisis Kritis: Kontradiksi Kebijakan Penghentian Penerimaan Guru Honorer Versus Kekurangan Guru pada Satuan Pendidikan SMP dan SMA
Keputusan pemerintah untuk menghentikan pengangkatan dan keberlanjutan tenaga honorer, termasuk guru honorer, telah menjadi salah satu polemik paling tajam di ranah pendidikan Indonesia hari ini. Kebijakan yang dimaksud bukan sekadar penataan administratif semata, tetapi juga refleksi dari perubahan besar dalam sistem kepegawaian negara yang dipicu oleh regulasi terbaru dan agenda reformasi birokrasi.
Secara hukum, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), dengan tegas menyatakan bahwa status kepegawaian di instansi pemerintah hanya terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Dengan berlakunya UU ini, keberadaan tenaga honorer sebagai kategori pekerjaan non-ASN secara bertahap dihapuskan, sehingga ruang bagi guru honorer untuk terus bekerja dalam status non-ASN semakin menipis. Pemerintah telah mengeluarkan surat edaran yang menegaskan bahwa status honorer akan dihapus total pada 2026, dan ini menjadi momentum akhir bagi honorer yang ingin beralih status ke ASN melalui jalur seleksi nasional (CASN) termasuk guru PPPK atau CPNS.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di tengah perubahan besar tersebut, pemerintah menawarkan jalur PPPK sebagai “status sah” baru bagi guru honorer. Skema PPPK dianggap sebagai bentuk kompromi antara kebutuhan profesionalisme dan kebutuhan tenaga pendidik yang masih sangat besar, apalagi banyak guru honorer yang telah mengabdi puluhan tahun. Namun, proses seleksi PPPK bukan tanpa tantangan. Ada persyaratan administrasi, kualifikasi pendidikan, dan keharusan terdaftar dalam database BKN dan Dapodik yang membuat tidak semua honorer bisa dengan mudah beralih status.
Polemik ini berlangsung di tengah fakta bahwa Indonesia masih menghadapi kelangkaan guru di banyak wilayah, terutama di daerah terpencil, perbatasan, dan 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Kekurangan guru bukanlah permasalahan baru, berbagai data sebelumnya menunjukkan bahwa kebutuhan guru jauh melebihi jumlah pengajar yang tersedia, apalagi setelah sebagian guru pensiun tanpa cukup pengganti berkualifikasi.
Kebijakan yang terlalu cepat menghapus honorer tanpa transisi efektif berpotensi memperlebar celah ketimpangan ketersediaan guru. Ditambah adanya pembatasan porsi anggaran BOSP dalam Permendikdasmen Nomor 8 tahun 2025. Pembayaran gaji PTK honorer maksimal hanya 20%. Akibatnya, celah kesenjangan ketersediaan guru sesuai bidangnya di satuan pendidikan menjadi semakin menganga, karena sekolah tidak bisa membayar gaji honorer lebih dari ketentuan dan tidak boleh merekrut tenaga pendidik yang baru bila ada guru PNS pensiun, karena peluang telah ditutup. Aturan ini juga melarang pembayaran gaji guru honor bila ia tidak masuk ke data Dapodik.
Kebijakan pendidikan sejatinya harus menyeimbangkan kepatuhan terhadap aturan dan respons terhadap realitas sosial. Penataan tenaga pendidik dengan menghapus honorer sebagai status guru memang dapat dipahami sebagai upaya menuju profesionalisasi ASN yang lebih transparan dan berkelanjutan. Pada kondisi nyata, apakah pemerintah memahami bahwa setiap tahun ada beratus ribu guru PNS yang pensiun? Ada berapa cuman PPPK yang diangkat? Sebandingkah? Apabila kebijakan itu dilakukan tanpa melihat kondisi nyata yang ada di satuan pendidikan tingkat SMP dan SMA yang pada saat ini mengalami kekurangan pada banyak mata pelajaran tertentu, serta tanpa pemetaan kebutuhan guru yang akurat, maka kebijakan tersebut bisa menimbulkan pelemahan bagi kualitas pendidikan nasional. Tidaklah mungkin guru mata pelajaran tertentu yang hanya menguasai bidang studinya disuruh mengajar bidang studi lain. Dimana nanti letak aspek profesionalisme guru tersebut? Wallahualam menguasai kompetensi pembelajaran di luar bidang studinya.
Negara perlu memastikan bahwa setiap langkah regulasi mengikuti asas keadilan, keberpihakan pada pendidikan, serta tidak menggusur tenaga guru dari perannya tanpa memberi alternatif yang setara. Hanya melalui transisi yang adil, jelas, dan berorientasi pada kebutuhan sekolah, kita bisa menjembatani kontradiksi antara penataan birokrasi dan kebutuhan mendesak akan guru yang kompeten di seluruh Indonesia.
Mengingat kondisi nyata yang terjadi di lapangan saat ini, sebagai masukan yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah pusat, untuk mengevaluasi kembali kebijakan penghentian penerimaan tenaga honorer fungsional guru untuk segera dibatalkan. Berikanlah peluang ke satuan pendidikan untuk mengangkat honorer guru tertentu agar gurunya tidak kurang di sekolah itu. Sungguh menyedihkan di sebuah sekolah ada beberapa guru mata pelajaran tertentu yang nihil. Lalu kepala sekolah mengambil kebijakan asalkan ada yang mengajarkan, maka solusi hanya guru mata pelajaran lain mengajarkan mata pelajaran yang tak ada gurunya. Jika kondisinya demikian, mungkinkah tercapai kualitas pendidikan yang diharapkan? Untuk memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) saja mungkin sulit untuk dicapai. (18/12)
Penulis : Suwardi
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama. Id












