SUARAUTAMA,Nabire- Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Dikpora) kabupaten Dogiyai, David Goo, S. Pd. menyampaikan pandangan kritis terkait pelaksanaan Tes Kemampuan Dasar (TKD/TKA) yang dinilai menimbulkan banyak persoalan di berbagai daerah. Menurutnya, masalah yang muncul bukan disebabkan ketidaksiapan siswa, tetapi karena sistem dan penyelenggaraannya yang belum matang.
Saat di wawancarai Media Suarautama Pada Sabtu,(15/11) di Nabire, papua Tengah.
David Goo menegaskan bahwa TKA pada tahun ini menjadi pengalaman penuh kegaduhan secara nasional. “Siswa disebut tidak siap, padahal kebijakan dan sistem penyelenggaranya yang belum siap. Dampaknya tidak dianalisis dengan baik, termasuk ketimpangan kurikulum dan kesiapan sekolah,” ujarnya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
DIKPORA Dogiyai Gelar Sosialisasi ADEM dan ADIK
Ia menilai TKA sebenarnya tidak bersifat wajib, namun dibuat seolah-olah wajib sehingga sekolah merasa ditekan. Di lapangan, ia menerima laporan adanya pungutan dengan berbagai alasan, mulai dari pembelian laptop hingga biaya teknis lain yang tidak jelas. “Ini menimbulkan beban baru bagi sekolah dan peserta didik,” tambahnya.
Disdikpora Dogiyai Gelar Sosialisasi Hentikan Perundungan dan Kekerasan di Sekolah
David Goo juga menyoroti tujuan TKA sebagai alat standarisasi nasional. Menurutnya, standarisasi seharusnya dimulai dari sekolah dan guru, bukan langsung kepada siswa. Ketimpangan fasilitas, kualitas pengajaran, dan integritas penyelenggara pendidikan antar daerah masih sangat besar. “Kurikulum saja tidak seragam. Ada yang memakai Kurikulum Merdeka, ada yang masih K13. Lalu TKA mengambil soal berdasarkan kurikulum yang mana?” tegasnya.
Ia menilai adanya misalignment antara kurikulum dan asesmen membuat TKA tidak valid sebagai alat ukur kemampuan siswa. “Jika yang diuji tidak pernah diajarkan, maka ini bukan evaluasi. Yang diukur bukan kemampuan berpikir siswa, tetapi keberuntungannya atau akses terhadap bimbingan belajar.”
David Goo mengingatkan bahwa Indonesia sudah memiliki Asesmen Nasional yang lebih relevan untuk standarisasi, seperti AKM, survei karakter, dan survei lingkungan belajar. Baginya, yang seharusnya menjadi prioritas adalah membangun sekolah yang berintegritas, aman dari kekerasan, serta meningkatkan kualitas guru.
Ia menegaskan bahwa sebelum mengevaluasi siswa, pembuat kebijakan dan penyelenggara pendidikan harus membereskan diri terlebih dahulu. “Jika sejak awal sudah muncul paksaan, pungutan, dan konflik kepentingan dari pusat hingga daerah, maka yang harus distandarkan adalah guru dan satuan pendidikan, bukan siswa terlebih dahulu,” tutupnya.














