SUARA UTAMA – Surabaya, 31 Oktober 2025 – Pajak merupakan sumber utama pendapatan negara yang digunakan untuk membiayai pembangunan nasional serta pengeluaran negara. Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan pemungutan pajak masih menghadapi tantangan besar akibat rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak. Untuk menegakkan hukum dan menjamin penerimaan negara, pemerintah menerapkan kebijakan tegas berupa penyanderaan (gijzeling) terhadap penanggung pajak yang tidak memiliki itikad baik dalam melunasi utang pajaknya.
Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 189/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak atas Sejumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar. Berdasarkan Pasal 1 angka 21 peraturan tersebut, penyanderaan merupakan pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu. Tujuannya adalah untuk memaksa wajib pajak melunasi utang pajak yang telah jatuh tempo dan belum diselesaikan, meskipun telah melalui tahapan penagihan administratif.
Wajib pajak dapat dikenai tindakan penyanderaan apabila memiliki utang pajak minimal Rp100 juta serta diragukan itikad baiknya dalam melunasi kewajiban tersebut. Keraguan ini muncul ketika wajib pajak tidak melunasi utang meskipun telah mendapat surat paksa, atau berupaya menyembunyikan, memindahtangankan, hingga membubarkan badan usaha setelah timbulnya utang pajak. Dalam kondisi demikian, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat mengajukan permohonan izin penyanderaan kepada Menteri Keuangan (Menkeu).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Prosedur penyanderaan dilakukan secara ketat dan terukur. Setelah izin diberikan, pejabat pajak berwenang akan menerbitkan Surat Perintah Penyanderaan yang memuat identitas penanggung pajak, alasan penyanderaan, lokasi, serta jangka waktu penahanan. Penyanderaan berlaku selama enam bulan dan dapat diperpanjang satu kali lagi selama enam bulan berikutnya apabila utang pajak belum juga dilunasi. Penanggung pajak yang melunasi kewajibannya dapat segera dibebaskan dari penyanderaan.
Penyanderaan dalam hukum pajak berbeda dengan hukuman pidana penjara. Langkah ini bukan bentuk penghukuman, melainkan alat paksa administratif (bestuursdwang) untuk memastikan kewajiban perpajakan terpenuhi. Pemerintah menegaskan bahwa penyanderaan merupakan upaya hukum terakhir (ultimum remedium) setelah seluruh tahapan administratif seperti teguran, surat paksa, dan penyitaan tidak membuahkan hasil.
Langkah ini dinilai penting untuk melindungi keuangan negara dari potensi kerugian akibat wajib pajak yang menghindar dari kewajiban. Dengan mekanisme penyanderaan, diharapkan tercipta efek jera serta peningkatan kesadaran wajib pajak untuk patuh terhadap peraturan.
Komentar Praktisi: “Langkah Tegas, Tapi Harus Berimbang”
Menurut Eko Wahyu Pramono, S.Ak., Praktisi Pajak sekaligus pemegang Izin Kuasa Hukum (IKH) Pajak, kebijakan penyanderaan merupakan langkah yang perlu dilakukan, namun pelaksanaannya harus tetap berimbang dan menjunjung asas keadilan.
“Penyanderaan bukan bentuk hukuman pidana, melainkan alat paksa administratif agar wajib pajak memenuhi kewajibannya. Namun, aparat pajak juga harus berhati-hati agar tindakan ini tidak disalahgunakan atau melanggar hak asasi manusia,” ujar Eko kepada SUARA UTAMA.
Eko menegaskan bahwa penyanderaan sebaiknya menjadi jalan terakhir setelah seluruh tahapan penagihan administratif dilakukan dengan benar.
“Tujuan akhirnya bukan menghukum, tapi memastikan penerimaan negara berjalan optimal dan adil. Bila dijalankan dengan transparan dan sesuai prosedur, kebijakan ini justru akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan,” tambahnya.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














