SUARA UTAMA – Surabaya, 28 Oktober 2025 – Asas Ignorantia excusatur non juris sed facti tengah menjadi sorotan di kalangan praktisi dan akademisi hukum Indonesia. Asas ini memiliki arti “ketidaktahuan dapat dimaafkan terhadap fakta, tetapi tidak terhadap hukum”, yang menegaskan bahwa alasan tidak tahu hukum tidak dapat dijadikan pembelaan, sedangkan ketidaktahuan terhadap fakta tertentu masih dapat dipertimbangkan dalam proses hukum.
Menurut pandangan sejumlah ahli, asas ini memainkan peran penting dalam menyeimbangkan antara kepastian hukum dan keadilan individu, terutama dalam perkara-perkara yang melibatkan unsur ketidaktahuan faktual dari pelaku.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Penerapan dalam Praktik Hukum
Dalam praktik peradilan, asas ini kerap menjadi dasar pertimbangan hakim, terutama ketika terdakwa mengaku tidak mengetahui fakta penting yang menyebabkan tindakannya melanggar hukum. Penerapan asas ini dinilai sebagai bentuk perlindungan terhadap warga negara yang bertindak tanpa niat jahat, namun terjebak karena ketidaktahuan terhadap kondisi faktual di lapangan.
Kasus-kasus seperti pelanggaran administratif, kesalahan informasi, hingga penerimaan barang hasil tindak pidana tanpa disadari, sering kali melibatkan perdebatan tentang sejauh mana asas ini bisa diterapkan.
Komentar Praktisi Hukum
Praktisi hukum Eko Wahyu Pramono menilai asas Ignorantia excusatur non juris sed facti merupakan refleksi penting dari nilai-nilai keadilan substantif dalam sistem hukum Indonesia.
“Asas ini mengajarkan kita bahwa hukum tidak hanya soal kepastian, tapi juga soal keadilan. Ketika seseorang benar-benar tidak mengetahui fakta penting di balik tindakannya, maka penegak hukum harus melihatnya secara objektif dan manusiawi,” ujar Eko Wahyu Pramono kepada SUARA UTAMA, Selasa (28/10/2025).
Eko menambahkan, penting bagi hakim dan jaksa untuk membedakan antara ketidaktahuan terhadap hukum dan ketidaktahuan terhadap fakta agar tidak terjadi kekeliruan dalam memberikan putusan.
Konteks dan Relevansi
Perbincangan mengenai asas ini mencuat kembali pada tahun 2025, setelah muncul sejumlah kasus hukum yang memunculkan perdebatan tentang batas tanggung jawab seseorang terhadap perbuatannya. Sejumlah akademisi hukum juga mendorong agar asas ini dipahami secara lebih luas dalam pendidikan hukum dan penerapan di lapangan.
Beberapa lembaga hukum di Surabaya dan Yogyakarta bahkan menggelar diskusi publik untuk mengkaji penerapan asas ini dalam sistem hukum nasional, guna memastikan keadilan tetap menjadi roh dari setiap putusan pengadilan.
Penegasan Prinsip Keadilan
Asas Ignorantia excusatur non juris sed facti menunjukkan bahwa penegakan hukum tidak boleh bersifat kaku. Hukum harus memberi ruang bagi pertimbangan moral dan kebenaran faktual, tanpa mengorbankan kepastian hukum.
Sebagaimana disampaikan Eko Wahyu Pramono, asas ini menjadi simbol bahwa hukum harus tetap berpihak pada kemanusiaan dan keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














