SUARA UTAMA – Surabaya, 24 Oktober 2025 — Pemerintah Indonesia menjelaskan bahwa tax treaty, atau yang dikenal dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), merupakan perjanjian internasional antara dua negara yang bertujuan untuk menghindari pemajakan berganda dan mencegah pengelakan pajak lintas negara.
Melalui tax treaty, dua negara yang memiliki hubungan ekonomi sepakat untuk membagi hak pemajakan atas penghasilan lintas batas. Dengan demikian, warga negara atau perusahaan yang memperoleh penghasilan di luar negeri tidak akan dikenai pajak dua kali oleh negara sumber dan negara domisili.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tujuan dan Fungsi Tax Treaty
Menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Indonesia telah menandatangani lebih dari tujuh puluh perjanjian P3B dengan berbagai negara mitra. Tujuannya tidak hanya untuk menghindari pajak berganda, tetapi juga untuk mendorong pertukaran informasi perpajakan, memperkuat kepastian hukum bagi investor, serta menciptakan iklim investasi yang sehat dan kompetitif.
P3B juga berfungsi sebagai alat diplomasi ekonomi. Melalui perjanjian ini, pemerintah dapat mengatur pembagian hak pemajakan atas penghasilan seperti dividen, bunga, royalti, dan jasa teknis. Dengan begitu, negara tetap mendapatkan penerimaan pajak, namun tanpa membebani wajib pajak secara berlebihan.
“Perbedaan isi tax treaty antarnegara merupakan hal yang wajar karena setiap kesepakatan didasarkan pada kepentingan nasional dan hubungan ekonomi kedua pihak,” ujar Yulianto Kiswocahyono, SE., SH., BKP Seorang Konsultan Pajak Senior sekaligus Ketua Komite Tetap Bidang Fiskal dan Moneter KADIN Jawa Timur kepada Suara Utama, Jumat (24/10).
Perbedaan Ketentuan antara Indonesia–Jepang dan Indonesia–Singapura
Meskipun memiliki tujuan yang sama, isi dan ketentuan dalam tax treaty antara Indonesia – Jepang dan Indonesia – Singapura memiliki sejumlah perbedaan yang cukup mencolok.
Dalam perjanjian antara Indonesia dan Jepang, misalnya, tarif pajak maksimum atas royalti ditetapkan sebesar sepuluh persen. Sementara dalam perjanjian dengan Singapura, tarif royalti dapat mencapai lima belas persen.
Perbedaan ini mencerminkan hasil negosiasi yang didasarkan pada hubungan ekonomi, tingkat investasi, serta kontribusi teknologi di antara kedua negara.
Selain itu, dalam P3B dengan Jepang, penyedia jasa dari negara tersebut baru dikenai pajak di Indonesia apabila kehadirannya melebihi seratus delapan puluh tiga hari dalam jangka waktu dua belas bulan. Sementara dalam P3B dengan Singapura, batas waktu tersebut lebih singkat, yaitu seratus dua puluh hari.
Artinya, penyedia jasa dari Singapura bisa lebih cepat dikenai kewajiban pajak dibandingkan penyedia jasa dari Jepang.
Perbedaan juga terlihat dalam pengaturan mengenai proyek konstruksi atau bentuk usaha tetap (BUT). Dalam perjanjian dengan Jepang, proyek dianggap memiliki BUT jika berlangsung lebih dari enam bulan. Sedangkan untuk Singapura, ketentuan itu diberlakukan jika proyek berlangsung lebih dari seratus dua puluh hari.
Pandangan Praktisi Pajak
Menurut Eko Wahyu Pramono, S.Ak., Anggota Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) sekaligus praktisi perpajakan, perbedaan antara perjanjian dengan Jepang dan Singapura merupakan konsekuensi logis dari perbedaan kepentingan dan kebijakan fiskal masing-masing negara.
“Setiap tax treaty adalah hasil diplomasi fiskal. Indonesia bisa memberikan tarif lebih rendah untuk Jepang karena adanya hubungan kuat dalam investasi dan transfer teknologi. Sedangkan dengan Singapura, kesepakatan lebih berfokus pada arus modal dan jasa,” jelas Eko kepada Suara Utama.
Ia menambahkan bahwa tax treaty berperan penting dalam menciptakan keadilan perpajakan internasional. Dengan adanya perjanjian tersebut, wajib pajak asing mendapatkan perlindungan dari pemajakan ganda, sementara pemerintah tetap dapat mengamankan penerimaan negara secara adil dan proporsional.
“Yang terpenting bukan apakah perjanjiannya sama atau berbeda, tetapi bagaimana perjanjian itu memberikan kepastian hukum dan menjaga kepercayaan investor terhadap sistem perpajakan Indonesia,” tambahnya.
Prosedur dan Implementasi di Indonesia
Untuk dapat memanfaatkan fasilitas tax treaty, wajib pajak luar negeri diwajibkan menyertakan Surat Keterangan Domisili (SKD) yang diterbitkan oleh otoritas pajak di negara asal. Dokumen ini menjadi bukti resmi bahwa penerima penghasilan memang merupakan penduduk pajak negara mitra dan berhak atas perlakuan khusus sesuai ketentuan P3B.
Tanpa SKD, otoritas pajak di Indonesia akan menerapkan tarif pajak yang lebih tinggi sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26. Oleh karena itu, administrasi perpajakan menjadi aspek penting dalam penerapan perjanjian ini.
Kesimpulan
Secara umum, tax treaty mencerminkan komitmen Indonesia untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan fiskal dan iklim investasi internasional.
Melalui kerja sama perpajakan ini, pemerintah berupaya mencegah praktik penghindaran pajak, memastikan keadilan bagi wajib pajak, dan memperkuat posisi Indonesia di tengah dinamika ekonomi global.
Pemerintah menegaskan bahwa seluruh perjanjian P3B tetap berlandaskan pada prinsip transparansi, keadilan, dan kepastian hukum, serta akan terus disesuaikan dengan perkembangan ekonomi dunia dan digitalisasi sistem perpajakan.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














