SUARA UTAMA – Keputusan DPRD Kota Sungai Penuh memangkas anggaran publikasi, memicu perdebatan di kalangan jurnalis, pegiat informasi publik, dan masyarakat.
Dalih efisiensi keuangan daerah menjadi alasan resmi. Namun, banyak yang menilai bahwa kebijakan tersebut justru mengancam transparansi dan kebebasan pers— dua hal mendasar dalam demokrasi lokal.
Dalih Efisiensi yang Sarat Kepentingan
Pemangkasan anggaran publikasi disebut sebagai langkah efisiensi belanja daerah.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, publik patut bertanya: Mengapa efisiensi selalu dimulai dari pos publikasi dan komunikasi publik, dan bukan dari anggaran perjalanan dinas, proyek seremonial, atau belanja konsumtif lainnya?
Lebih jauh lagi, beberapa kalangan menilai langkah ini tidak murni soal keuangan.
Dalam praktiknya, pemangkasan sering terjadi ketika pemberitaan media menjadi terlalu kritis terhadap kebijakan daerah.
Jika kritik mulai meningkat, anggaran tiba-tiba menurun— pola yang menunjukkan gejala politik informasi yang tidak sehat.
Media Lokal: Garda Demokrasi yang Mulai Tersisihkan
Media lokal di daerah seperti Sungai Penuh memiliki peran vital sebagai penyambung lidah rakyat dan pengawas kebijakan publik.
Mereka mengabarkan persoalan di lapangan, menyuarakan aspirasi masyarakat, serta mengkritisi kebijakan pemerintah daerah yang tidak berpihak pada rakyat.
Namun, kebijakan pemangkasan anggaran publikasi justru menekan ruang gerak media.
Bagi banyak media lokal, kerja sama publikasi dengan instansi pemerintah merupakan salah satu sumber pendanaan utama untuk bertahan hidup.
Ketika anggaran itu dipotong tanpa mekanisme yang transparan, bukan hanya kelangsungan media, tetapi juga suara masyarakat.
Media yang melemah berarti hilangnya ruang kontrol atas kekuasaan.
Ketika kekuasaan tidak lagi diawasi, maka kesalahan, penyimpangan, dan korupsi mudah bersembunyi di balik kata “efisiensi”.
Situasi ini memperlihatkan bahwa efisiensi anggaran sering kali tidak berjalan seiring dengan semangat keterbukaan.
Keterbukaan Informasi Adalah Hak Publik
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menegaskan bahwa setiap badan publik wajib membuka akses informasi kepada masyarakat.
Artinya, anggaran publikasi bukan sekadar biaya promosi, melainkan instrumen untuk memenuhi hak publik atas informasi.
Ketika DPRD memangkas anggaran publikasi tanpa strategi komunikasi alternatif, itu berarti mereka mengurangi hak masyarakat untuk tahu tentang kebijakan, penggunaan APBD, dan program kerja wakil rakyatnya.
Keterbukaan tidak boleh dikorbankan hanya karena alasan penghematan.
Transparansi bukan beban, melainkan investasi kepercayaan antara pemerintah dan rakyatnya.
Kritik Bukan Ancaman, Tapi Vitamin Demokrasi
Sayangnya, sebagian pejabat di daerah masih menganggap media sebagai ancaman.
Berita kritis dianggap serangan, sementara liputan tajam dicap tidak mendukung pembangunan.
Inilah pola pikir yang berbahaya karena pemerintah yang alergi terhadap kritik cenderung takut pada kebenaran.
Kritik yang sehat justru membantu memperbaiki kebijakan.
Pemerintah yang terbuka akan menjadikan media sebagai mitra dialog, bukan sebagai musuh yang harus dikendalikan lewat kebijakan anggaran.
Politik Informasi: Mengatur Narasi, Membatasi Suara
Praktik pemangkasan anggaran sering kali dilakukan secara selektif.
Media yang memberitakan positif tetap mendapat ruang kerja sama, sedangkan media yang kritis dipinggirkan.
Inilah bentuk politik informasi yang pelan tapi pasti menciptakan iklim pemberitaan yang tidak bebas.
Di banyak daerah, termasuk Sungai Penuh, pola ini mulai terlihat jelas.
Kerja sama media tak lagi didasarkan pada profesionalisme, tetapi pada loyalitas pemberitaan.
Jika ini terus berlanjut, demokrasi lokal akan kehilangan jantungnya.
Efisiensi Sejati Tak Harus Membunuh Transparansi
Efisiensi memang penting, tetapi tidak boleh membungkam kebebasan informasi.
DPRD dan pemerintah daerah seharusnya melakukan penataan ulang, bukan pemangkasan buta.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
• Menerapkan seleksi terbuka media mitra berdasarkan kinerja dan kredibilitas.
• Melibatkan Dewan Pers dan Komisi Informasi Daerah dalam pengawasan kerja sama publikasi.
• Membangun portal publikasi bersama yang terbuka bagi semua media.
• Mengedukasi aparatur daerah untuk memahami bahwa transparansi adalah bagian dari pelayanan publik.
Dengan demikian, efisiensi tetap tercapai tanpa harus membungkam suara publik.
Penutup: Jangan Biarkan Informasi Menjadi Gelap
Kota Sungai Penuh, seperti banyak daerah lain di Indonesia, membutuhkan media yang kuat, independen, serta kritis.
Bukan media yang bungkam karena ditekan oleh anggaran.
Pemangkasan anggaran publikasi memang bisa menghemat rupiah, tetapi jika itu dilakukan dengan cara menutup ruang informasi, maka yang dihemat bukan biaya, melainkan demokrasi.
Efisiensi boleh, tetapi jangan sampai dijadikan topeng untuk menutupi suara rakyat.
Tanpa keterbukaan, kekuasaan akan berjalan tanpa kendali, dan itu adalah ancaman terbesar bagi masa depan pemerintahan yang jujur dan berintegritas.
Ketika transparansi dipersempit atas nama efisiensi, yang hilang bukan sekadar anggaran, melainkan cahaya yang menerangi ruang demokrasi.
Penulis : Reza Nofri Mulya
Editor : Nurana Prasari
Sumber Berita : Suara Utama














