SUARA UTAMA – Jakarta, 10 Oktober 2025 — Konsep restorative justice atau keadilan restoratif dalam sistem hukum pidana Indonesia terus menjadi sorotan publik. Sistem ini mengedepankan pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat, sehingga dianggap lebih manusiawi dibanding sistem peradilan pidana konvensional (retributive justice). Namun, penerapannya masih menghadapi dilema antara nilai kemanusiaan dan kepastian hukum.
Sejarah dan Perkembangan Internasional
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Konsep restorative justice pertama kali diterapkan secara formal melalui Victim-Offender Reconciliation Program (VORP) di Kitchener, Kanada, tahun 1974. Program ini mempertemukan pelaku dan korban untuk menyelesaikan konflik secara damai, dengan tujuan memulihkan kerugian dan hubungan sosial.
Di Selandia Baru, sistem family group conference diterapkan melalui Children, Young Persons, and Their Families Act 1989, sedangkan di Afrika Selatan, Truth and Reconciliation Commission pasca-apartheid menekankan rekonsiliasi sosial sebagai bentuk pemulihan keadilan.
Menurut United Nations Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters (2002), pendekatan restoratif dapat diterapkan di setiap tahap sistem peradilan pidana, dengan syarat menjaga hak korban, prinsip kesukarelaan, dan tidak mengurangi kewenangan negara.
Restorative Justice di Indonesia
Di Indonesia, nilai-nilai keadilan restoratif telah lama hidup dalam praktik hukum adat, seperti musyawarah untuk perdamaian. Secara formal, konsep ini mulai mendapat pengakuan hukum melalui Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 dan pedoman internal Kepolisian RI dan Mahkamah Agung.
Data Kejaksaan Agung menunjukkan bahwa pada 2023, lebih dari 2.600 perkara pidana ringan diselesaikan dengan mekanisme restoratif, meningkat sekitar 20% dibanding tahun sebelumnya. Namun, pertumbuhan ini menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi dan potensi penyalahgunaan.
Pandangan Praktisi: Yulianto Kiswocahyono
Yulianto Kiswocahyono, SE., SH., BKP, praktisi hukum sekaligus konsultan fiskal dan Ketua Komite Tetap Bidang Fiskal dan Moneter KADIN Jawa Timur, menegaskan bahwa restorative justice harus tetap berada dalam koridor kepastian hukum.
“Restorative justice bukan jalan pintas untuk membebaskan pelaku. Negara tetap harus hadir menjamin keseimbangan antara kepentingan korban, masyarakat, dan pelaku,” ujar Yulianto di Jakarta, Jumat (10/10).
Menurut Yulianto, pendekatan restoratif cocok untuk kasus ringan seperti penganiayaan dan pencurian kecil, tetapi tidak dapat diterapkan pada kejahatan berat seperti korupsi atau kejahatan seksual.
“Keadilan restoratif harus dijalankan secara profesional, transparan, dan berlandaskan prinsip equality before the law. Tanpa mekanisme kontrol yang jelas, ia bisa berubah menjadi alat kompromi,” tambahnya.
Pandangan Praktisi Hukum Lain: Eko Wahyu Pramono
Eko Wahyu Pramono, praktisi hukum di Surabaya, menekankan perlunya pengawasan ketat dalam implementasi.
“Konsep ini ideal di atas kertas, tapi di lapangan sering muncul ketimpangan, terutama jika pelaku dan korban memiliki perbedaan status sosial. Keadilan restoratif bisa menjadi elitis jika tidak dikawal,” ujar Eko.
Eko menyoroti bahwa keberhasilan restorative justice di negara seperti Kanada dan Selandia Baru didukung oleh sistem hukum yang transparan dan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Di Indonesia, kepercayaan tersebut masih perlu diperkuat melalui akuntabilitas dan evaluasi berkelanjutan.
Kesimpulan
Keadilan restoratif memiliki potensi besar untuk membangun sistem hukum pidana yang lebih manusiawi di Indonesia, terutama untuk tindak pidana ringan. Namun, praktiknya harus diimbangi dengan regulasi yang tegas, pengawasan independen, dan kepastian hukum.
Yulianto menekankan:
“Restorative justice adalah wajah baru hukum pidana Indonesia. Wajah ini hanya akan tampak adil jika negara menegakkan hukum dengan konsisten menyeimbangkan kepastian hukum, kemanusiaan, dan moral publik.”
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














