Menjaga Marwah Pers: Wartawan Wajib Lepas dari LSM dan Ormas

- Penulis

Rabu, 1 Oktober 2025 - 21:11 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Wartawan Senior Mas Andre Hariyanto, Komitmen dan Taat Harga Mati Pejuang

Wartawan Senior Mas Andre Hariyanto, Komitmen dan Taat Harga Mati Pejuang

Oleh: Mas Andre Hariyanto

Pemimpin Redaksi Media Nasional Suara Utama, Ini Kabar dan Dapur Pena

SUARA UTAMA Dalam beberapa tahun terakhir, persoalan perangkapan profesi – di mana seorang wartawan juga aktif sebagai pengurus atau anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau organisasi kemasyarakatan – makin sering mendapatkan sorotan. Dewan Pers bahkan telah secara terbuka mengeluarkan imbauan agar wartawan melepaskan peran ganda tersebut demi menjaga independensi dan kredibilitas pers.

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Menjaga Marwah Pers: Wartawan Wajib Lepas dari LSM dan Ormas Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut saya, keputusan Dewan Pers itu tepat, dan ada alasan-alasan mendasar mengapa profesi wartawan sebaiknya tidak merangkap sebagai aktivis LSM atau ormas. Di bawah ini saya paparkan argumentasi, sekaligus mengajak rekan-rekan wartawan dan masyarakat luas memahami pentingnya menjaga “kemurnian” profesi jurnalistik.

Dasar Regulasi dan Etika: Profesi, Independensi, dan Kepercayaan Publik

1. Landasan hukum dan kode etik jurnalistik

Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebut bahwa “yang dimaksud dengan ‘Kode Etik Jurnalistik’ adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.”

Pada Pasal 7 UU Pers dinyatakan bahwa wartawan Indonesia memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.

Dewan Pers kemudian merumuskan Kode Etik Jurnalistik melalui Peraturan Dewan Pers Nomor 6/Peraturan-DP/V/2008 sebagai landasan etis bagi semua wartawan Indonesia.

Selain itu, baru-baru ini Dewan Pers juga mengeluarkan Peraturan Dewan Pers Nomor 03/PERATURAN-DP/IV/2024 tentang Pedoman Perilaku dan Standar Pers Profesional, yang semakin menegaskan pentingnya perilaku profesional dalam dunia pers.

Jadi, sudah ada kerangka regulasi — baik hukum maupun etika profesi — yang jelas menempatkan wartawan dalam posisi yang berbeda dari aktor-aktor sosial lainnya.

2. Independensi sebagai syarat mutlak profesi jurnalistik

Salah satu nilai inti dalam Kode Etik Jurnalistik adalah independensi — wartawan harus bekerja berdasarkan penilaian profesional tanpa tergantung atau terpengaruh oleh kepentingan luar.

Ketika seorang wartawan aktif dalam LSM atau ormas yang memiliki agenda tertentu, akan sangat sulit untuk memastikan bahwa keputusan jurnalistiknya — misalnya dalam memilih topik, sudut pemberitaan, narasumber — tidak dipengaruhi oleh kepentingan organisasi tersebut. Konflik kepentingan dapat muncul secara halus atau bahkan tak disadari.

3. Kepercayaan publik dan persepsi objektivitas

Pers atau media memiliki peran sosial yang besar: menyajikan informasi jujur, akurat, dan berimbang agar publik dapat mengambil keputusan berdasarkan fakta. Bila masyarakat melihat wartawan juga menjabat di organisasi aktivis, maka persepsi bahwa wartawan “berkepentingan” akan mudah muncul — dan citra media bisa tercemar.

Banyak masyarakat merasa tidak nyaman ketika ada wartawan yang “bermain di dua sisi” — sebagai jurnalis sekaligus aktivis LSM/ormas — karena dikhawatirkan jurnalisme digunakan untuk menguatkan agenda politik atau advokasi organisasi tersebut. Imbauan Dewan Pers itu menurut saya juga lahir dari keresahan sosial semacam ini.

Kritik terhadap argumen “hak konstitusional aktivisme”

Pihak yang mempertahankan kebebasan seorang wartawan untuk menjadi anggota LSM sering berargumen bahwa hak menjadi aktivis atau anggota organisasi sosial adalah hak konstitusional, bahkan bagi wartawan. Memang benar bahwa hak untuk berserikat dan berorganisasi dilindungi oleh konstitusi.

Namun, kebebasan itu tidak bersifat absolut dalam konteks profesi. Apabila eksistensi ganda itu merusak fungsi, martabat, dan integritas profesi jurnalistik, maka regulasi etis — seperti yang dibuat Dewan Pers — sangatlah wajar dan perlu.

Dewan Pers sendiri dalam Seruan Nomor 02/S-DP/XI/2023 menyebut:

BACA JUGA :  Penggunaan Senjata Api dalam Acara Sipil, Antara Tradisi dan Bahaya

“Seseorang menjadi anggota/aktivis LSM dan anggota organisasi massa merupakan hak asasi … Akan tetapi, demi menjaga independensi dan menghindari terjadinya konflik kepentingan sebagai wartawan profesional, apabila ada peristiwa yang menyangkut kepentingan LSM yang dipimpin/diikuti wartawan tersebut wajib tidak melakukan kerja jurnalistik terkait subjek/objek LSM … lebih baik lagi apabila wartawan tersebut mengundurkan diri dari keanggotaan/aktivitas LSM atau ormas tertentu demi menjaga kemurnian pers profesional.”

Perkataan “lebih baik lagi apabila wartawan tersebut mengundurkan diri…” menegaskan bahwa Dewan Pers menganggap bahwa paling aman dan elegan adalah melepaskan keterlibatan organisasional demi menjaga posisi jurnalistik yang bersih.

Potensi bahaya praktik dan konflik kepentingan dalam perangkapan profesi

1. Pencampuran peran

Wartawan bisa saja menyuarakan agenda LSM-nya melalui pemberitaan, dengan menutupi identitas aktivisnya. Misalnya, liputan yang seolah-olah netral padahal sarat kepentingan advokasi tertentu.

 

2. Atribusi ganda atau tidak jujur kepada narasumber

Ada kasus di mana wartawan menyebut dirinya sebagai jurnalis, padahal dalam kenyataan ia adalah pengurus LSM, atau sebaliknya. Ini menciptakan bias atau ketidakjujuran dalam relasi wartawan–nara sumber.

3. Penggunaan media sebagai alat advokasi

Jika redaksi atau wartawan merangkap dalam LSM, ada kemungkinan media digunakan untuk mengampanyekan tujuan organisasi, yang kemudian mengaburkan batas antara pers dan advokasi.

4. Krisis kredibilitas internal di media

Dalam organisasi media yang melaporkan isu-isu sosial atau mengkritik lembaga publik, konflik kepentingan internal bisa muncul — siapa yang diberi ruang liputan atau perlakuan, apakah semua organisasi mendapat perlakuan sama atau organisasi tempat wartawan aktif diuntungkan.

Argumen kontra yang mesti dijawab

Beberapa wartawan berpendapat bahwa:

Aktivisme dan jurnalistik bisa dipisahkan, yakni ia akan menjaga agar aktivitas LSM-nya tidak memengaruhi kerja jurnalistiknya.

Profesionalisme bisa menjaga batas, sehingga tidak akan ada konflik kepentingan.

Namun, di lapangan kenyataannya seringkali batas itu kabur. Manusia tidak selalu objektif dalam menghadapi situasi di mana kepentingan organisasi ikut terkait. Tanpa kontrol eksternal, potensi penyimpangan terbuka lebar.

Kesimpulan & Seruan

Sebagai Pemimpin Redaksi dan wartawan, saya berpandangan bahwa agar profesi jurnalistik tetap disegani, dihormati, dan dipercaya masyarakat, maka:

1. Wartawan sebaiknya tidak merangkap sebagai pengurus atau aktif sebagai aktivis LSM/ormas

Jika ingin tetap terlibat sosial, pilihlah ruang-ruang non-aktif atau bukan dalam posisi pengurus, dan hindari liputan langsung tentang organisasi tersebut.

2. Media dan lembaga pers perlu menegakkan kebijakan internal

Media bisa membuat regulasi internal bahwa karyawan redaksi atau kru jurnalistik tidak boleh merangkap jabatan organisasi luar yang berpotensi konflik.

3. Sosialisasi kode etik dan kewajiban profesional

Media, lembaga jurnalistik, dan organisasi wartawan harus terus mengedukasi anggota tentang risiko perangkapan profesi dan konsekuensi etisnya.

4. Transparansi kepada publik

Jika secara historis seseorang pernah aktif dalam LSM, sebaiknya dinyatakan dengan jelas agar publik tahu latar belakang tersebut. Tapi yang terbaik tetap: menjaga agar tidak ada tumpang tindih.

Dengan menegakkan prinsip keprofesionalan jurnalistik yang murni — tanpa beban kepentingan organisasi luar — media dan wartawan bisa terus menjadi pilar utama demokrasi, menjadi pencerah publik, dan menjadi lembaga kritis yang dipercaya.

Semoga opini ini bisa menjadi bahan refleksi bagi rekan-rekan wartawan dan pimpinan media, termasuk di Suara Utama, Ini Kabar, dan Dapur Pena, agar kita bersama menjaga marwah pers Indonesia.

Editor : Dzakira Talita Zahra

Sumber Berita : Redaksi Suara Utama

Berita Terkait

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  
Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia
Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?
Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”
Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan
Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya
Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi
Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza
Berita ini 93 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 4 Desember 2025 - 19:29 WIB

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  

Kamis, 4 Desember 2025 - 16:12 WIB

Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia

Rabu, 3 Desember 2025 - 15:29 WIB

Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?

Rabu, 3 Desember 2025 - 14:43 WIB

Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”

Selasa, 2 Desember 2025 - 14:11 WIB

Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan

Selasa, 2 Desember 2025 - 12:48 WIB

Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya

Senin, 1 Desember 2025 - 20:03 WIB

Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi

Senin, 1 Desember 2025 - 14:21 WIB

Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza

Berita Terbaru