Suarautama.id | Halmahera Selatan – Polemik demokrasi di Kabupaten Halmahera Selatan kian menguat. Langkah Bupati yang kembali melantik empat kepala desa—meski Surat Keputusan (SK) mereka telah dibatalkan oleh PTUN Ambon—memicu kritik keras dari berbagai pihak.
Tindakan itu dinilai sebagai bentuk pengabaian terhadap supremasi hukum sekaligus memperburuk iklim demokrasi di daerah. Suasana semakin panas setelah pernyataan dua kuasa hukum berbeda ikut beredar dan memicu perdebatan di ruang publik.
Sebelumnya, melalui pemberitaan, Safri Nyong, SH, menyuarakan kritik, sementara kuasa hukum Pemda, Suwarjono Buturu, SH., MH., justru menyatakan akan melaporkan Safri Nyong. Bagi sebagian kalangan, respons tersebut dipandang lebih sebagai manuver menggiring opini publik ketimbang menjawab substansi persoalan hukum yang ada.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejumlah praktisi hukum menegaskan bahwa inti persoalan ini bukan sekadar tafsir atau retorika, melainkan ketaatan pada putusan pengadilan. “SK sudah dicabut, sehingga tidak ada dasar hukum untuk kembali melantik empat kepala desa tersebut,” tegas para praktisi.
Barisan Rakyat Halmahera Selatan (BARAH), melalui ketuanya, Adi Ngelo, pada Rabu (24/9/2025) menilai langkah Bupati sebagai pelanggaran serius terhadap konstitusi.
“Ini preseden buruk bagi demokrasi kita. Bagaimana mungkin seorang kepala daerah dengan sadar melanggar putusan pengadilan yang sudah final dan mengikat? Persoalan ini bukan semata soal desa, tapi tentang penghormatan terhadap hukum dan martabat demokrasi,” ungkapnya.
BARAH pun mendesak DPRD Halmahera Selatan segera memanggil Bupati untuk mempertanggungjawabkan tindakannya. Adi Ngelo juga mengkritisi sikap Bupati yang dianggap lebih memilih menyalurkan pernyataan melalui kuasa hukum ketimbang tampil langsung menjawab polemik di hadapan publik.
“Kenapa Bupati tidak menjawab langsung? Mengapa bersembunyi di balik komentar kuasa hukum? Sikap seperti ini justru memperkeruh situasi dan merusak kepercayaan masyarakat,” ujarnya.
BARAH memastikan akan menggelar aksi di kantor DPRD pada Kamis (25/9/2025). Mereka menuntut agar DPRD tidak tinggal diam dan benar-benar menjalankan fungsi pengawasan.
Tuntutan BARAH dan Masyarakat:
1. Mendesak Bupati Halmahera Selatan segera membatalkan pelantikan ulang empat kepala desa.
2. Meminta pemerintah daerah tunduk pada putusan PTUN sebagai bukti penghormatan terhadap supremasi hukum.
3. Menekankan DPRD agar mengawasi dan mengambil sikap atas dugaan penyalahgunaan kewenangan.
4. Meminta DPRD memanggil Bupati untuk bertanggung jawab atas tindakannya.
Kasus ini memperlihatkan Halmahera Selatan sedang berada dalam situasi yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai “darurat demokrasi”, di mana manuver politik, perang opini, dan dugaan pelanggaran hukum dinilai berpotensi mengancam tatanan demokrasi lokal.
Penulis : Rafsanjani M.utu
Editor : Admin Suarautama.id
Sumber Berita : BARAH














