Realitas di Balik Seragam: Antara Pembelajaran Lapangan dan Tekanan Biaya
SUARA UTAMA – Di tengah semangat pendidikan yang inklusif dan merata, kegiatan study tour di lingkungan sekolah justru memunculkan ironi. Program yang idealnya menjadi sarana pembelajaran luar kelas dan pengembangan karakter, kini memicu diskusi serius di masyarakat. Apakah study tour benar-benar investasi pendidikan, atau justru beban finansial terselubung bagi orang tua?
Perspektif Teoritis: Belajar Tak Harus di Kelas
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Teori pendidikan progresif seperti yang dikemukakan oleh John Dewey menekankan bahwa pengalaman langsung adalah bagian penting dalam proses belajar. Dewey berpendapat bahwa “education is not preparation for life; education is life itself,” dan salah satu wujudnya adalah pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning).
Studi dari Kolb (1984) dalam Experiential Learning Theory juga menunjukkan bahwa proses belajar akan lebih efektif ketika siswa mengalami secara langsung siklus belajar: mengalami – merefleksikan – berpikir – bertindak.
Dengan kata lain, konsep study tour secara teoritis sangat kuat sebagai metode pendidikan alternatif. Kunjungan ke situs sejarah, pusat sains, atau tempat industri bisa memberikan konteks nyata yang tak bisa didapat di ruang kelas.
Pendapat Pakar Pendidikan
Dr. Elin Driana, M.Pd., pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, menyatakan bahwa study tour bisa sangat bermanfaat untuk pembentukan karakter sosial, kemandirian, dan empati siswa. Namun, ia menekankan bahwa perencanaan yang bijak dan proporsional sangat penting.
“Jangan sampai nilai edukatifnya kalah dengan aspek rekreasinya. Apalagi kalau sampai ada eksklusi sosial karena siswa tidak mampu ikut,” ujarnya.
Senada dengan itu, Dr. Indra Charismiadji, pengamat kebijakan pendidikan, menegaskan bahwa:
“Ketika sekolah mulai kehilangan fokus pada pendidikan karakter dan justru memfokuskan destinasi ke tempat wisata elit, saat itulah study tour kehilangan makna edukatifnya.”
Media Sorotan: Antara Pro dan Kontra
Media nasional seperti Kompas (2024) dan Tempo (2023) telah beberapa kali menyoroti kontroversi biaya study tour yang dianggap membebani. Sebuah laporan investigasi Kompas menyebutkan bahwa lebih dari 40% orang tua di sekolah menengah merasa terbebani secara ekonomi oleh program study tour, apalagi jika kegiatan tersebut diadakan di luar pulau atau bahkan luar negeri.
Sementara itu, detik.com dan CNN Indonesia sempat memuat curhatan viral orang tua siswa yang anaknya tidak diikutsertakan dalam sesi foto kelas hanya karena tidak ikut study tour. Fenomena ini memperlihatkan dimensi sosial yang lebih dalam: terjadi segregasi psikologis yang bertentangan dengan semangat pendidikan merata.
Solusi: Menata Ulang Makna dan Mekanisme
Untuk menyelamatkan esensi study tour, ada beberapa langkah konkret yang perlu dipertimbangkan oleh pihak sekolah, pemerintah daerah, dan komite pendidikan:
- Audit dan transparansi biaya oleh sekolah serta pelibatan penuh komite orang tua.
- Fokus pada lokasi edukatif lokal yang terjangkau namun tetap berkualitas.
- Penerapan subsidi silang bagi siswa yang kurang mampu agar tidak terjadi eksklusi.
- Menyisipkan evaluasi akademik dan refleksi setelah kegiatan, agar tujuan pendidikan tetap menjadi yang utama.
- Evaluasi dari Dinas Pendidikan, agar kegiatan ini tidak lepas dari standar mutu dan keberpihakan sosial.
Penutup: Edukasi atau Prestise?
Study tour bukan sekadar jalan-jalan berlabel edukasi. Ini seharusnya menjadi medium pembelajaran kontekstual yang membentuk perspektif baru siswa. Namun, ketika biaya menjadi penghalang dan orientasinya bergeser ke hiburan dan prestise, maka saatnya kita bertanya ulang: siapa sebenarnya yang diuntungkan?
Dalam masyarakat yang masih berjuang mengatasi ketimpangan sosial dan akses pendidikan, pendidikan yang bermakna bukan yang mahal, melainkan yang adil dan menyentuh semua lapisan.














