
SUARA UTAMA, Mesuji – – Bulan Suro, yang merupakan bulan pertama dalam kalender Jawa, kembali menjadi perhatian masyarakat yang menjunjung tinggi nilai spiritual, budaya, dan tradisi leluhur. Bertepatan dengan bulan Muharram dalam kalender Hijriyah Islam, Bulan Suro memiliki makna mendalam bagi berbagai kalangan, mulai dari penganut Islam, pelaku budaya Jawa, hingga kalangan perguruan silat seperti Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT).
Sakralitas Bulan Suro dalam Perspektif Agama
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam konteks Islam, bulan Muharram atau Suro termasuk salah satu dari empat bulan haram yang dimuliakan Allah SWT. Bagi umat Islam, bulan ini merupakan momentum memperbanyak amal ibadah, seperti puasa sunnah dan introspeksi diri. Bagi umat Islam Syiah, bulan ini juga menjadi waktu berkabung mengenang tragedi Karbala, saat cucu Nabi Muhammad SAW, Imam Husain, gugur dalam peristiwa yang menyayat hati umat.
Tradisi Kejawen dan Warisan Leluhur
Di kalangan masyarakat Jawa, Bulan Suro dimaknai sebagai waktu sunyi yang penuh keprihatinan dan laku batin. Banyak warga Jawa memilih melakukan tirakat, tapa, semedi, hingga ritual kungkum (berendam di air) di malam hari sebagai bentuk penyucian diri. Selain itu, kirab pusaka, tapa bisu, dan ziarah ke makam leluhur juga menjadi rangkaian kegiatan yang rutin dilakukan setiap malam 1 Suro.
Bulan Suro bukan sekadar penanggalan, tetapi momen untuk menyelaraskan diri dengan alam, Tuhan, dan sesama.
Peran Bulan Suro dalam Dunia Persilatan
Bagi komunitas perguruan silat, khususnya PSHT dan aliran silat tradisional lainnya, Bulan Suro menjadi bulan penuh makna. Seluruh warga PSHT biasanya melaksanakan malam tirakat bersama, penyucian pusaka, ziarah ke makam pendiri, hingga kegiatan pengesahan warga atau anggota baru. Semua ini dilakukan dengan penuh khidmat dan nilai spiritualitas tinggi.
“Bagi kami, Bulan Suro adalah waktu yang sakral. Ini bukan hanya soal silat, tapi tentang jati diri, kehormatan, dan hubungan dengan Tuhan,” ungkap salah satu pengurus PSHT Cabang Mesuji.
Larangan dan Etika di Bulan Suro
Masyarakat tradisional meyakini bahwa Bulan Suro bukan waktu yang tepat untuk menggelar pesta atau hajat besar seperti pernikahan. Selain dianggap tidak etis secara budaya, hal tersebut diyakini dapat mengundang malapetaka karena energi gaib yang dianggap sedang aktif. Masyarakat juga dianjurkan untuk menjaga ucapan, perilaku, dan banyak melakukan introspeksi diri selama bulan ini.
—
Kesimpulan
Bulan Suro bukan hanya bulan pembuka dalam kalender Jawa, tetapi juga simbol perenungan, pemurnian, dan penyambungan ruhani antara manusia dengan Tuhan dan leluhur. Di tengah arus modernisasi, pelestarian nilai-nilai sakral ini menjadi wujud penghormatan terhadap jati diri budaya dan spiritualitas bangsa.














