SUARA UTAMA- Saat Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), memutuskan mengirim siswa bermasalah ke camp militer selama enam bulan, riuh kritik pun pecah. Banyak yang menyebut kebijakan itu terlalu keras, bahkan dianggap melanggar hak anak. Tapi, apakah keras itu selalu salah? Atau justru itu tanda cinta yang tak takut tak populer?
Kita semua tahu, anak-anak zaman sekarang menghadapi godaan yang jauh lebih kompleks: narkoba, geng motor, perundungan digital, pornografi, hingga tawuran brutal. Ketika pendidikan formal tak lagi cukup membentuk karakter, maka perlu pendekatan lain yang lebih tegas, lebih nyata, dan terstruktur.
Saya tidak berbicara dari menara gading. Sebagai mantan Kepala Desa periode 2003–2008, saya pernah menghadapi langsung kenyataan pahit: remaja yang terseret kasus pidana ringan, atau warga yang baru keluar dari tahanan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tapi saya tak buru-buru menyerahkan mereka ke polisi. Saya beri pilihan: ikut pengajian bersama Jamaah Tabligh (program khuruj atau jaulah), atau berurusan dengan hukum.
Program ini bukan hukuman. Mereka tinggal di masjid, hidup sederhana, mendengar tausiah, belajar disiplin dan mengendalikan diri. Biayanya saya bantu dari kantong pribadi—karena saya percaya ini investasi akhlak.
Suatu hari, seorang warga yang baru keluar dari rutan saya minta ikut jaulah. Besok paginya, ia datang kembali bersama istrinya dan berkata: “Pak, saya nyerah. Dipenjara enam bulan saya kuat. Tapi ini baru semalam di masjid, rasanya lebih berat.”
Kami tertawa. Tapi di balik itu saya sadar: disiplin rohani jauh lebih berat daripada sekadar dikurung.
Dari pengalaman itu saya belajar, tidak semua orang bisa berubah hanya dengan bujukan lembut. Ada yang butuh diguncang dulu agar sadar. Maka ketika KDM menerapkan program pembinaan di camp militer, saya tidak serta-merta menolak.
Ya, pendekatannya militeristik. Tapi bukan berarti kejam. Bisa jadi, inilah bentuk shock therapy yang diperlukan—bukan untuk menghukum, tapi membekali mereka dengan struktur hidup, kedisiplinan, tanggung jawab, dan rasa hormat yang selama ini hilang.
Tentu, program ini harus disempurnakan: pendampingan psikologis, jaminan kelanjutan pendidikan, serta sentuhan spiritual yang menenangkan. Tapi substansi kebijakan ini perlu kita apresiasi—karena negara akhirnya hadir, tak hanya menyalahkan.
Saya percaya, perubahan karakter butuh dua hal: ketegasan dan kehangatan.
Gubernur memberi ketegasan lewat camp, sementara kita—orang tua, guru, tokoh masyarakat—harus hadir memberi kehangatan dan bimbingan setelahnya.
Anak-anak itu bukan musuh. Mereka sedang mencari jati diri. Kadang perlu diguncang agar sadar. Tapi setelah diguncang, kita harus menyambut mereka dengan cinta dan arah yang jelas.
Membina bukan sekadar memaafkan. Tapi menuntun dengan tegas. Karena kadang, jalan terjal adalah satu-satunya jalan pulang bagi jiwa yang sempat tersesat.
Penulis : Nafian Faiz, jurnalis tinggal di Lampung.














