Ruang Demokrasi Tanpa Makna

- Writer

Jumat, 21 Februari 2025 - 16:33 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

gambar sebagai ilustrasi penyampaian suara

gambar sebagai ilustrasi penyampaian suara

Suara Utama.–  “Demokrasi pun, seperti kata George Bernard Shaw menjadi penggantian proses seleksi wakil rakyat oleh beberapa atau elit yang corrupt dengan pemilu oleh rakyat yang tidak kompeten untuk memilih”. 

Ruang Demokrasi seharusnya menjadi ruang transaksi dan pasar ide gagasan untuk mencapai Bonum Commune.

Politik kata kata  membuat banyak orang tenggelam dalam sensasi semu lalu lupa hakekat dirinya sebagai Demos dalam demokrasi.

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Ruang Demokrasi Tanpa Makna Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pada saat ramai kampanye Pemilihan Legislatif  tahun lalu saya berkesempatan bertemu dan berdiskusi dengan beberapa teman caleg, yang namanya saya anonimkan. Saya tanyakan kepadanya bagaimana caranya untuk memenangkan pemilihan umum. Jawab Temanku, “tawarkan gagasan dan yakinkan rakyat pemilih bahwa gagasan rakyatlah yang terbaik.”

Ini bukan hal baru. Sebab Pemilu pada dasarnya adalah suatu kontes dalam memenangkan perhatian (interest) daripada pemilih, yang akan kemudian terwujud dalam dukungan suara.

Karena interest human cenderung berpusat pada hal-hal yang menyangkut kepentingan dirinya, perdebatan dalam pemilu sering berpusat pada isu-isu kebutuhan pokok (bread and butter) ataupun pemenuhan kesejahteraan umum. Jadi pemilu menjadi suatu kontes bagaimana merumuskan, mengemas, dan menyampaikan program dan gagasan untuk meningkatkan harapan pemilih. artinya, berpolitik dengan berkemajuan. Apa politik berkemajuan itu, yaitu memurnikan Politik  dari praktik-praktik yang tidak sesuai dengan UUD 1945 dan Nilai nilai spiritual Pancasila, serta menyesuaikan pemahaman Politik dengan perkembangan zaman. Hal lain Praktik politik yang lebih maju dan dinamis dengan mekanisme proses yang menjaga politik itu sebagai pemenangan ide/gagasan yang terbaik dan bermanfaat bagi rakyat pemilihnya. Dapat diartikan bahwa praktik politik itu terlaksaba tanpa mencederai demokrasi.

Sayangnya, berdasarkan pengamatan sebagai pemerhati politik selama empat bulan terakhir, yang sarat terjadi dalam Pileg adalah politik uang atau politik perut atau politik paksaan atau penggiringan warga oleh timsesnya dan politik jogetan,bukan kontes gagasan/ide berkemajuan. Rakyat cenderung memilih seorang caleg karena pemberian uang atau sembako, dan lain sebagainya dengan nilai nominal tertentu.

Istilah wani piro (berapa uangnya) atau cair-kah, atau ‘fajarkah tiba’ menjadi jargon yang paling sering saya dengar dalam beberapa bulan proses sosialisasi dan kampanye di Daerah saya di sekitar area anonim.

Para caleg pun yang tidak ada masalah dengan politik uang dan memiliki cukup modal akan mencoba memenuhi situasi “pasar” dengan menawarkan pemberian tersebut. Akhirnya harga satu suara memiliki nilai nominal tertentu apakah 50 ribu, 100 ribu, dan seterusnya. Mengapa rakyat menjadi jatuh dalam politik uang atau politik perut ?

Sedikitnya tiga sebab. Pertama, rakyat sangat apatis melihat kinerja dan kelakuan para caleg yang terpilih pada Pileg sebelumnya yang ternyata jauh melenceng dari harapan mereka. Ini juga termasuk praktik korupsi yang dilakukan anggota terpilih, serta situasi di tengah masyarakat yang masih mudah diajak ajak tanpa rasional.

Misalnya, rakyat sering mengeluh kepada saya bahwa mereka sudah tertipu janji dari satu Pileg ke Pileg lainnya. Tetapi, rakyat sendiri pun tidak jujur. Politik uang dan serangan fajar sudah mulai merebak sejak tahun 2004. Artinya, rakyat sebetulnya bukan korban janji, tetapi korban akibat memilih orang yang tidak benar dengan alasan tidak benar.

Jika di Pemilu tahun 2004 dan 2009 rakyat memilih wakilnya bukan karena politik uang, namun yang betul-betul berkualitas dan memiliki niat tulus untuk membangun, besar kemungkinan mereka tidak “tertipu”.

Kedua, selama proses sosialisasi, para pemimpin partai dan caleg tidak menggali aspirasi dari masyarakat yang kemudian bermuara pada perumusan dan penajaman gagasan yang mereka dapat tawarkan kepada masyarakat.

Misalnya, apa sesungguhnya masalah-masalah penting dan mendesak di suatu daerah yang menurut rakyat di daerah tersebut sudah sangat mendesak untuk dipecahkan? Lantas apa sesungguhnya yang dapat tawarkan untuk memecahkan masalah tersebut.

Tentu, pada akhirnya ini akan berujung pada idea/gagasan berbentuk janji program. Tetapi, jika prosesnya bersifat dialogis dan gagasan yang ditawarkan masih pada batas-batas wajar, rakyat dengan kemampuan nalar minimpun akan cenderung bisa membedakan caleg serius dengan yang bohong atau gagasan yang sifatnya sudah muluk-muluk dengan yang sebetulnya bisa diperjuangkan.

Yang justru terjadi adalah caleg lewat anggota tim suksesnya, melakukan pendataan untuk mengumpulkan nama-nama dari para pemilih yang kira-kira bisa didekati dan ditawarkan pemberian untuk memilih caleg yang bersangkutan.

BACA JUGA :  PKS Tanggamus Laksanakan Pemotongan Hewan Qurban, Salurkan 800 Paket

Karena praktik ini sudah diantisipasi sejak dirinya resmi menjadi caleg, akhirnya proses berpolitik dengan gagasan, yakni menawarkan gagasan-gagasan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat daerah atau kota, menjadi tidak terpikirkan atau tidak diupayakan oleh caleg yang bersangkutan.

Jadi pada dasarnya, sumber daripada budaya politik uang ini adalah partai politik dan para caleg. Para partai politik tidak memiliki platform yang jelas dalam memajukan kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia. Praktis tidak memiliki gagasan.

Di sisi lain, selama proses sosialisasi, mereka umumnya kurang menjelaskan apa peranan dan tugas lembaga legislatif dan wakil-wakil rakyat dalam memajukan daerah dan bangsa.

Dan karena platform partainya juga kurang jelas, para caleg jarang menawarkan kepada pemilih akan gagasan segar dalam membangun daerah atau bangsanya. berarti, bukan pendidikan politik yang terjadi, namun politik uang yang menjadi menonjol.

Dangat tidak mengherankan bila di samping politik uang, masyarakat juga terjebak dalam primordialisme sempit dalam menilai caleg. Misalnya, mereka memilih seseorang hanya karena satu marga, satu suku, atau satu agama, tanpa secara serius menilai kualitas caleg tersebut.

Akhirnya, rakyat memilih perwakilan marganya, sukunya, ataupun agamanya di DPR/D, bukan perwakilan daerahnya yang akan berjuang menentukan nasib daerah dan bangsanya.

Budaya politik uang juga diperburuk dengan budaya masyarakat yang cenderung meminta-minta. Dan mengharapkan pemberian. Ini khususnya terjadi di daerah-daerah dengan tingkat sosial ekonomi lemah. Ketika salah satu calon melakukan sosialisasi ke berbagai tempat tersebut.

rakyat berkumpul dan mengharapkan adanya bagi-bagi uang atau pemberian sembako. Barangkali kegiatan bagi-bagi uang atau Sembako sudah menjadi model yang calon-calon lainnya lakukan dan budayakan selama sedikitnya dua pileg terakhir.

Sebelum hari H Pemilu, teman saya bertanya kepada pelayan di rumah makan  sewaktu mampir dalam perjalanan ke daerah tersebut, Tanya saya tentang pilihannya dalam Pemilu nanti. dia menjawab akan memilih calon yang memberikan hadiah. Alasannya, banyak yang memberinya kartu nama dan dia tidak ingat semuanya.

Inilah faktor ketiga penyebab maraknya politik uang atau sembako, yaitu banyaknya partai dan caleg yang bersaing.

Akibatnya, berpolitik dengan gagasan menjadi suatu hal yang tidak menarik. Dan demokrasi pun, seperti kata Menurut M. Alfonso Aprilio bahwasanya Politik Uang , akan menimbulkan dampak negatif yang sangat merugikan seluruh lapisan masyarakat.

“Karena kekuasaan yang semestinya diberikan melalui suatu trust telah dibeli dengan uang. Dampaknya, pembangunan menjadi tidak lancar dan kompetisi internasional tidak terkejar,”. Sehingga masyarakat seharusnya berfikir dua kali jika menerima uang dari para kandidat yang menginginkan dirinya agar bisa terpilih. Jadi bisa diartikan proses Pemilu menjadi penggantian proses seleksi wakil rakyat oleh beberapa atau elit yang korup dengan pemilihan umum oleh rakyat yang tidak kompeten untuk memilih.

Bila para politik dan caleg ditanya mengapa praktik politik uang marak, mereka cenderung mengkambing-hitamkan rakyat. Rakyat mudah tergoda dengan yang bersiafat material ketimbang gagasan dan jangkauan pemikirannya sempit serta pendek. Tidak sanggup mencerna gagasan.

Sebaliknya rakyat mengkambing-hitamkan partai politik dan caleg. Mereka umumnya dianggap pembohong, penipu, dan tidak punya gagasan. Dalam suatu pembicaraan Caleg dengan warga Ketika ketemu warung obrolan sambal ngopi, saya dengar seorang ibu nyeletuk, “Ah, sama saja itu.”

Akankah praktik politik uang yang menjadi biang kerok berpolitik berbiaya tinggi ini berakhir atau berkurang drastis ?

Hal itu bisa terjadi…….. Bilamana ketika masyarakat sudah tidak memiliki mental peminta-minta, sistem politik dibenahi sehingga jumlah partai maksimum 10 Partai, para caleg benar-benar memiliki kualitas dan integritas sehingga membuatnya menjauh dari praktik berbiaya tinggi tersebut, tentu tidak akan terjadi………atau tidak akan berubah, tapi bilamana  partai politik memiliki platform jelas dalam memajukan kecerdasan umum dan kesejahteraan rakyat, serta partai politik mengembangkan sistem pengkaderan berkelanjutan.

Barangkali hal-hal di atas memerlukan waktu puluhan tahun lagi. Sampai itu terjadi, kita harus siap menerima akan kualitas buruk dan kepedulian publik yang rendah dari wakil rakyat kita..

 

Penulis : Tonny Rivani

Berita Terkait

Workshop Penulisan Esai dan Opini HMPS MPI STAIL Sukses Digelar
Plt.Kasat Pol PP Merangin larang Warga Dirikan Bangunan di Tanah Bersertifikat Pribadi 
Tuai Sorotan, Pekerjaan Oleh CV ZERA CAHAYA MANDIRI di SMPN 16 Merangin Dinilai Tak Berkualitas
Ramadhan : Menuju Manusia Taqwa dan Meraih Keajaiban Pertolongan Allah
Shalat Jumat Perdana Di Masjid Baitullah Perum Griya Cipta Damai
KDM, Magnet Baru Media Darling
Pemerintah Kabupaten Tangerang Dorong Melek Digital UMKM
Peringatan darurat dengan Garuda hitam dan Tagar #Indonesiagelap membahana. Ada apa?
Berita ini 20 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 22 Februari 2025 - 16:42 WIB

Workshop Penulisan Esai dan Opini HMPS MPI STAIL Sukses Digelar

Sabtu, 22 Februari 2025 - 14:07 WIB

Plt.Kasat Pol PP Merangin larang Warga Dirikan Bangunan di Tanah Bersertifikat Pribadi 

Sabtu, 22 Februari 2025 - 07:58 WIB

Tuai Sorotan, Pekerjaan Oleh CV ZERA CAHAYA MANDIRI di SMPN 16 Merangin Dinilai Tak Berkualitas

Jumat, 21 Februari 2025 - 18:09 WIB

Ramadhan : Menuju Manusia Taqwa dan Meraih Keajaiban Pertolongan Allah

Jumat, 21 Februari 2025 - 17:20 WIB

Shalat Jumat Perdana Di Masjid Baitullah Perum Griya Cipta Damai

Jumat, 21 Februari 2025 - 16:33 WIB

Ruang Demokrasi Tanpa Makna

Jumat, 21 Februari 2025 - 11:38 WIB

Pemerintah Kabupaten Tangerang Dorong Melek Digital UMKM

Jumat, 21 Februari 2025 - 11:15 WIB

Peringatan darurat dengan Garuda hitam dan Tagar #Indonesiagelap membahana. Ada apa?

Berita Terbaru

FOTO : HMPS MPI STAIL Surabaya Sukses Gelar Workshop Penulisan untuk Dorong Mahasiswa Berkarya (Andre Hariyanto/SUARA UTAMA)

Berita Utama

Workshop Penulisan Esai dan Opini HMPS MPI STAIL Sukses Digelar

Sabtu, 22 Feb 2025 - 16:42 WIB

Berita Utama

Shalat Jumat Perdana Di Masjid Baitullah Perum Griya Cipta Damai

Jumat, 21 Feb 2025 - 17:20 WIB