SUARA UTAMA – Peringatan Hari Ulang Tahun Kepolisian Negara Republik Indonesia (HUT Polri) ke-79 pada tahun 2025 ini bukan sekadar seremoni institusional. Ia merupakan momen krusial bagi institusi Polri untuk merenung, mengevaluasi, sekaligus mempertegas kembali jati dirinya sebagai pelindung dan pengayom rakyat.
Harapan masyarakat terhadap Polri tidak pernah sederhana: menghadirkan rasa aman, menegakkan keadilan tanpa pandang bulu, dan menunjukkan sikap humanis dalam setiap pelayanannya. Namun dalam realitas, masih banyak tantangan yang harus dijawab, baik dari sisi struktural, kultural, maupun etis.
Menjawab Krisis Kepercayaan
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam beberapa tahun terakhir, Polri tak lepas dari sorotan tajam. Dari kasus pembunuhan Brigadir J, dugaan keterlibatan dalam konflik kepentingan penanganan kasus korupsi, hingga tindakan represif terhadap kelompok sipil, semua itu menjadi ujian kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum ini.
Pengamat kepolisian dari Lemhanas, Prof. Hermawan Sulistyo, menilai Polri sebenarnya sudah menempuh jalur pembenahan. Program transformasi digital, pendekatan humanis, dan perbaikan rekrutmen menjadi tanda-tanda positif. “Namun semua pembenahan ini harus menyentuh akar budaya institusinya,” ujarnya.
Namun sebaliknya, peneliti dari KontraS, Rivanlee Anandar, menyebut bahwa pendekatan aparat terhadap masyarakat masih sering berbasis kekuasaan, bukan pelayanan. “Kita butuh polisi yang melayani dengan empati, bukan dengan intimidasi,” katanya.
Transformasi Bukan Sekadar Program
Transformasi di tubuh Polri tidak bisa berhenti pada jargon atau slogan. Program Presisi (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi, dan Berkeadilan) yang digagas Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo adalah langkah strategis yang layak diapresiasi. Namun, implementasi di lapangan seringkali tidak mencerminkan semangat perubahan yang diusung di pusat.
Emerson Yuntho, analis kebijakan publik, menyatakan bahwa transformasi institusi penegak hukum tidak cukup dilakukan lewat program-program seremonial atau retorika internal. Ia menekankan:
“Reformasi kepolisian mensyaratkan penegakan disiplin secara konsisten, penghukuman terhadap pelanggar tanpa tebang pilih, dan pembatasan penyalahgunaan kewenangan. Kalau tidak, publik akan terus melihat reformasi sebagai kosmetik.”
Realitanya, laporan tahunan dari lembaga pengawas seperti Komnas HAM dan KontraS masih mencatat tingginya keluhan terhadap kekerasan oleh aparat, penyiksaan dalam proses penyidikan, hingga tindakan represif dalam pengamanan demonstrasi. Kasus seperti pemukulan aktivis, kriminalisasi warga sipil, atau pembiaran praktik pungli masih menjadi fakta harian di sejumlah daerah.
Di sisi lain, peneliti kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menggarisbawahi bahwa perubahan kultur adalah tantangan paling berat dalam reformasi Polri:
“Selama orientasi anggota di lapangan masih mengedepankan loyalitas hierarkis ketimbang profesionalitas publik, maka semua program bagus hanya akan berhenti di tingkat dokumen.”
Selain itu, keterlibatan oknum polisi dalam kasus besar seperti narkoba, judi online, atau sengketa agraria menunjukkan bahwa pengawasan internal belum cukup efektif.
Kondisi ini menciptakan jurang antara visi reformasi dan realitas operasional. Inilah alasan mengapa masyarakat tidak cukup diyakinkan oleh pidato atau publikasi pencapaian, tetapi menginginkan bukti nyata dari perubahan perilaku polisi sehari-hari di lapangan.
Transformasi yang ditunggu bukan hanya soal modernisasi teknologi atau perbaikan fasilitas, melainkan perubahan karakter dan integritas. Tanpa itu, program sebesar apa pun hanya akan menjadi tameng retoris bagi problem laten yang tak kunjung selesai.
Polri Milik Rakyat
Kunci utama reformasi Polri adalah mengembalikan institusi ini pada pemilik sejatinya: rakyat. Maka, di tengah momentum ulang tahun ini, Polri harus membuka diri terhadap kritik, menjunjung tinggi profesionalisme, dan memastikan bahwa setiap anggota paham bahwa kewenangannya bukan simbol kekuasaan, tapi tanggung jawab publik.
Membangun citra bukan perkara membentuk persepsi, tetapi menata realitas. Jika polisi ingin dicintai, bukan ditakuti, maka kehadirannya harus menenangkan, bukan mengintimidasi. Polisi yang berdiri bersama rakyat, bukan di atas rakyat.
Kesimpulan: Menjadi Polisi yang Dicintai, Bukan Ditakuti
HUT Polri 2025 seharusnya tidak hanya menjadi seremoni tahunan, melainkan titik balik menuju institusi yang lebih kuat secara etika, profesionalisme, dan kedekatan dengan rakyat. Tantangan Polri hari ini bukan hanya menghadapi kejahatan konvensional atau siber, tapi juga mengatasi krisis kepercayaan publik yang semakin dalam.
Ke depan, Polri harus menanggalkan pendekatan kekuasaan yang berbasis rasa takut dan menggantinya dengan kehadiran yang humanis, empatik, dan bersahabat. Keamanan bukanlah hasil dari represi, tetapi dari kepercayaan yang lahir dari keteladanan dan konsistensi pelayanan.
Polisi yang dicintai adalah mereka yang hadir tanpa pamrih. Bukan yang menunggu “imbalan jasa”, bukan yang menukar perlindungan dengan pungutan liar, dan bukan pula yang menjadikan seragam sebagai simbol kekuasaan. Mereka adalah abdi negara yang sadar bahwa pelindung sejati tak meminta imbalan, karena keikhlasan adalah bagian dari kehormatan profesi.
Masyarakat Indonesia tidak menuntut polisi yang sempurna. Tapi rakyat mendambakan polisi yang jujur, adil, terbuka terhadap kritik, dan mau berubah. Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, Polri hanya bisa bertahan jika ia kembali ke jati dirinya: sebagai pelindung dan pengayom seluruh rakyat, tanpa syarat.
Semoga HUT Polri 2025 menjadi lembaran baru untuk mengukir sejarah, bukan hanya di atas kertas, tapi di hati rakyat.
Sumber Berita : Referensi : 1. Komnas HAM. 2024. Laporan Tahunan Komnas HAM RI 2024. Jakarta. 2. KontraS. 2024. Catatan Akhir Tahun: Kekerasan oleh Aparat 2024. Jakarta. 3. Litbang Kompas. 2024. Survei Kepuasan Publik terhadap Kinerja Polri. Harian Kompas, Desember 2024. 4. Listyo Sigit Prabowo. 2024. Pidato HUT Bhayangkara ke-78. Jakarta, 1 Juli 2024. 5. Hermawan Sulistyo. 2025. Pernyataan dalam Dialog TVRI: Reformasi Kepolisian dan Tantangannya, Januari 2025. 6. Bambang Rukminto. 2025. Komentar di Harian Kompas: Tantangan Kultur di Tubuh Polri, 2 April 2025. 7. Emerson Yuntho. 2024. Analisis dalam Tirto.id: Transformasi Polri Masih Elitis, 21 September 2024.












