Suara Utama.- Organisasi kemasyarakatan (ormas) sejatinya lahir sebagai perpanjangan tangan masyarakat sipil—wadah untuk menyuarakan aspirasi rakyat, memperjuangkan keadilan sosial, serta ikut membangun bangsa dari akar rumput. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, realitas di lapangan menunjukkan distorsi fungsi yang sangat mengkhawatirkan: sebagian ormas justru berubah wujud menjadi momok menakutkan yang kerap membungkam, mengintimidasi, bahkan merampas hak-hak warga.
Fenomena premanisme berkedok ormas bukan lagi isu lokal. Ini sudah menjadi persoalan nasional yang mengganggu ketertiban, melukai rasa keadilan masyarakat, dan melemahkan wibawa negara.
Dari Advokasi Menjadi Intimidasi
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Banyak ormas yang awalnya dibentuk dengan niat baik—misalnya untuk menjaga budaya, membantu masyarakat, atau melakukan pengawasan sosial. Namun seiring berjalannya waktu, sebagian dari mereka menjelma menjadi kekuatan yang justru menyebar teror, bukan perlindungan.
Mereka masuk ke berbagai sektor: memungut “uang keamanan” dari pelaku usaha, melakukan sweeping sepihak, mengintervensi konflik lokal, hingga menduduki lahan dan memaksa warga tunduk atas nama “pengawasan sosial”. Semua dilakukan dengan cara-cara kekerasan, intimidasi, dan—ironisnya—dengan membawa identitas legal sebagai ormas.
Mengapa Negara Seolah Tak Berdaya?
Pertanyaannya kemudian: mengapa praktik-praktik semacam ini bisa terus terjadi di depan mata?
- Payung Hukum yang Lemah atau Tidak Tegas
Banyak ormas memanfaatkan celah hukum yang tidak tegas dalam UU Ormas, seolah mereka memiliki kekebalan hukum selama berbadan hukum resmi.
- Hubungan Politik Tersembunyi
Beberapa ormas memiliki kedekatan dengan elite politik atau aparat tertentu, sehingga keberadaannya menjadi alat kekuasaan yang sulit disentuh hukum.
- Minimnya Penegakan Hukum di Lapangan
Aparat sering kali terkesan membiarkan, ragu bertindak, atau bahkan ikut tunduk terhadap tekanan kelompok ormas tertentu, terutama di daerah.
Rakyat Jadi Korban, Demokrasi Terkikis
Di tengah kondisi ini, masyarakat biasa menjadi pihak yang paling dirugikan. Rasa aman hilang. Ruang ekspresi terbatas. Banyak warga atau pelaku usaha kecil yang akhirnya memilih diam atau “membayar” demi menghindari konflik.
Demokrasi yang seharusnya menjamin kebebasan berbicara, berkumpul, dan berorganisasi, justru dijadikan tameng oleh segelintir kelompok untuk melanggengkan praktik premanisme berkedok legalitas.
Sudah Saatnya Negara Bertindak Tegas
Jika dibiarkan, fenomena ini akan menciptakan negara dalam negara—di mana hukum tidak lagi menjadi panglima, dan warga sipil harus patuh pada kekuatan informal yang bersembunyi di balik nama ormas.
Langkah konkret yang harus dilakukan:
- Revisi Regulasi Ormas Secara Ketat
Pemerintah dan DPR perlu menyempurnakan regulasi terkait ormas agar tidak bisa disalahgunakan untuk kegiatan di luar koridor hukum.
- Penegakan Hukum Tanpa Pandang Bulu
Aparat harus diberi mandat tegas untuk menindak segala bentuk pelanggaran hukum oleh ormas, tak peduli seberapa besar pengaruhnya.
- Transparansi dan Pengawasan Dana Ormas
Banyak ormas menerima bantuan dana dari negara. Sudah seharusnya penggunaannya diaudit secara terbuka.
- Pendidikan Warga dan Advokasi Masyarakat Sipil
Rakyat harus diedukasi tentang hak-haknya, dan organisasi masyarakat sipil yang benar-benar independen perlu dilibatkan dalam pengawasan dan advokasi.
Penutup: Negara Tak Boleh Kalah oleh Premanisme
Ormas adalah bagian dari demokrasi, tapi demokrasi bukan tempat bagi kekerasan, pemaksaan, dan intimidasi. Jika sebuah organisasi menjelma menjadi alat penindas, maka keberadaannya sudah menyimpang dari semangat konstitusi.
Rakyat Indonesia butuh perlindungan, bukan ancaman. Negara tidak boleh kalah oleh premanisme berkedok ormas. Sudah saatnya hukum ditegakkan—untuk keadilan, keamanan, dan masa depan demokrasi yang sehat.
Penulis : Tonny Rivani












