SUARA UTAMA – Surabaya, 28 Oktober 2025 — Penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan berlaku mulai 1 Januari 2026 membawa perubahan besar dalam sistem pemidanaan Indonesia. Salah satu perubahan utama adalah hilangnya ancaman penahanan bagi tindak pidana verbal, seperti penghinaan, pencemaran nama baik, maupun penyerangan terhadap harkat dan martabat Presiden atau lembaga negara.
Pidana Pengawasan dan Kerja Sosial Gantikan Penjara
Dalam KUHP baru, hakim memiliki kewenangan menjatuhkan pidana pengawasan bagi tindak pidana dengan ancaman hukuman tidak lebih dari lima tahun, serta pidana kerja sosial untuk ancaman tidak lebih dari tiga tahun.
Kedua jenis pidana ini menjadi alternatif dari hukuman penjara, yang selama ini dianggap terlalu represif terhadap pelaku pelanggaran ringan.
“Orientasi hukum pidana kita kini bergeser dari pembalasan ke pembinaan,” ujar salah satu pakar hukum pidana Universitas Indonesia. “Pelaku tetap bertanggung jawab, tetapi tidak harus kehilangan kebebasan fisiknya.”
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kejahatan Verbal Tak Memenuhi Syarat Penahanan
Berdasarkan syarat objektif penahanan sebagaimana diatur dalam KUHAP, penahanan hanya dapat dilakukan jika tindak pidana tersebut diancam dengan pidana lebih dari lima tahun penjara. Karena hampir semua kejahatan verbal memiliki ancaman di bawah ambang itu, maka penahanan terhadap pelakunya tidak dimungkinkan secara hukum.
Dengan demikian, kasus-kasus seperti penghinaan terhadap Presiden, lembaga negara, maupun individu ke depan lebih diarahkan untuk ditangani melalui pendekatan non-pemenjaraan, seperti pidana pengawasan, kerja sosial, atau denda, kecuali hakim menilai ada alasan yang memberatkan untuk menjatuhkan pidana penjara.
Paradigma Baru: Hukum yang Humanis dan Restoratif
Kebijakan ini menunjukkan arah baru hukum pidana Indonesia menuju sistem yang lebih humanis dan restoratif. Pemerintah berupaya menghindari kriminalisasi berlebihan terhadap ekspresi warga, sekaligus mengurangi overkapasitas lembaga pemasyarakatan yang selama ini menjadi masalah kronis.
Menurut Yulianto Kiswocahyono, SE., SH., BKP, pengamat hukum dan perpajakan, perubahan ini merupakan langkah maju yang perlu didukung dengan penegakan hukum yang adil dan proporsional.
“KUHP baru ini mencerminkan semangat pembaruan hukum pidana yang lebih berkeadilan. Namun pelaksanaannya harus konsisten, agar tidak terjadi bias antara perlindungan martabat dan pembatasan kebebasan berekspresi,” ujar Yulianto.
“Masyarakat juga perlu diedukasi bahwa kebebasan berbicara tetap memiliki batas etik dan hukum.”
Menuju Pemidanaan yang Lebih Berkeadilan
Dengan diberlakukannya KUHP baru ini, diharapkan aparat penegak hukum dapat lebih selektif dalam melakukan penahanan, serta lebih fokus pada pencegahan, pembinaan, dan reintegrasi sosial pelaku.
Masyarakat pun diharapkan memahami bahwa tidak semua perbuatan yang menyinggung secara verbal akan berujung pada penjara, melainkan pada bentuk hukuman yang lebih mendidik dan proporsional.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














