Suara Utama, Pontianak: Ketika pemerintah melaksanakan Program Merdeka Belajar melalui kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Tekhnologi Republik Indonesia, ternyata implementasinya masih perlu dibenahi, terutama mengenai pemahaman apa Itu Merdeka Belajar?.
Akademisi Serta Pemerhati pendidikan FKIP Universitas Tanjungpura Mohamad Rif’at menyampaikan sikap kurang optimisnya terhadap program merdeka belajar dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh pemerintah. Ia menilai persoalan utama adalah kurangnya pemahaman mengenai merdeka belajar.
Menurutnya filosofi dari merdeka belajar yang pertama adalah apakah kurikulum yang diformulasikan serta diselenggarakan di tiap satuan pendidikan sudah sesuai serta mengakomodasi kebutuhan siswa untuk belajar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menambahkan “kebutuhan belajar siswa ada yang terkait dengan kebutuhan penguasaan ilmu pengetahuan serta teknologi. Ada juga kebutuhan keterampilan dalam dunia bekerja,” ujarnya Selasa pagi (5 Februari 2023) dalam wawancara dengan RRI.
Selanjutnya yang kedua, Rif`at menyampaikan, Pemerataan Akses serta kesempatan belajar bagi seluruh warga Negara Indonesia dimasa usia belajar, ini juga bermakna sebagai merdeka belajar.
Yang ketiga lanjut, Rif’at merdeka belajar dapat mengakomodasi berbagai keterampilan, Bakat, minat, kemampuan, siswa yang berbeda-beda. Kegiatan Pembelajaran dengan merdeka belajar harus meningkatkan minat serta bakat serta kemampuan siswa. Keseragaman dalam melayani kebutuhan pembelajaran siswa bukanlah ciri dari merdeka belajar. Pembelajaran merdeka belajar harus mampu meningkatkan minat keterampilan serta bakat sesuai dengan minat siswa.
Diakuinya, pelaksanaan merdeka belajar itu sulit diterapkan, sebagai studi kasus penelitian yang ia lakukan tiga tahun terakhir bersama pendidik diberbagai satuan pendidikan dalam penerapan merdeka belajar, masih belum menjawab bagaimana tujuan merdeka belajar itu semestinya diterapkan. Belum lagi pemahaman makna merdeka belajar yang masih belum seragam dan terarah dikalangan pendidik, termasuk dalam pengimplementasian yang beragam.
“Kesalahpahaman berujung pada implementasi yang salah, itulah yang terjadi. Kita belum berani terlalu optimistis apakah merdeka belajar ini dapat terjadi, tapi saya yakin bertahap bisa dimulai,” ujarnya.
Ia mengakui bahwa praktik pendidikan masih kental dengan sifat pemaksaan. Peran pendidik ditingkat Sekolah Dasar, Menengah hingga ke Perguruan Tinggi, masih merupakan peran kekuasaan – kekuasaan kecil yang belum memahami bagaimana kebutuhan dasar siswa sebagai sosok pembelajar yang merdeka. Selain itu, keterbatasan guru dan dosen juga merupakan contoh pemaksaan, yang kemudian implementasinya bagian dari tidak adanya kemerdekaan dalam belajar.
Menurutnya, merdeka belajar baru mulai menerobos kewenangan kekuasaan yang mungkin belum akomodatif terhadap kebutuhan belajar siswa saat ini. Dan selama ini peran pendidik masih sangat dominan dibandingkan kebutuhan siswa dalam belajar. RSU