SUARA UTAMA – Jakarta, 16 September 2025 – Di tengah ketidakpastian global dan dinamika ekonomi nasional, para pakar menilai masyarakat perlu lebih selektif dalam memilih instrumen investasi. Kondisi inflasi, fluktuasi nilai tukar rupiah, serta arah kebijakan pemerintah menjadi faktor utama dalam menentukan pilihan investasi yang tepat.
Menurut sejumlah analis pasar keuangan, instrumen yang relatif aman dan sesuai dengan situasi saat ini antara lain emas, reksa dana pasar uang, obligasi pemerintah, serta saham di sektor-sektor strategis.
Emas dinilai masih menjadi aset lindung nilai (hedging) terhadap inflasi dan ketidakpastian global. Sementara itu, reksa dana pasar uang dipandang cocok bagi investor konservatif karena risikonya rendah dan likuiditas tinggi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Obligasi pemerintah, khususnya Surat Berharga Negara (SBN), juga dianggap stabil. Di sisi lain, bagi investor dengan toleransi risiko lebih tinggi, saham di sektor infrastruktur, hilirisasi, dan sumber daya alam berpotensi memberikan imbal hasil lebih besar seiring dengan fokus pemerintah pada proyek strategis.
Tidak hanya itu, properti dan mata uang asing juga disebut sebagai alternatif diversifikasi, meskipun keduanya memiliki tantangan tersendiri seperti kebutuhan modal besar dan risiko kurs.
Selain instrumen domestik, pasar modal asing mulai dilirik sebagian investor Indonesia. Akses ke bursa global seperti New York Stock Exchange (NYSE), Nasdaq, hingga Tokyo Stock Exchange dinilai memberi peluang diversifikasi dan potensi keuntungan dari sektor-sektor yang belum banyak tersedia di pasar dalam negeri, seperti teknologi, energi terbarukan, dan kesehatan. Instrumen yang dapat dipilih antara lain saham asing, Exchange Traded Fund (ETF) global, hingga reksa dana internasional yang dikelola manajer investasi lokal.
Meski demikian, risiko tetap ada. Fluktuasi nilai tukar rupiah, biaya transaksi, serta kebijakan moneter negara maju khususnya Amerika Serikat disebut berpotensi memengaruhi hasil investasi. Karena itu, analis mengingatkan agar investor memperhitungkan faktor kurs sebelum menempatkan dana di instrumen asing.
Yulianto Kiswocahyono, SE., SH., BKP, Konsultan Pajak Senior sekaligus Ketua Komite Tetap Bidang Fiskal dan Moneter Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jawa Timur, menilai strategi investasi saat ini harus mempertimbangkan faktor fiskal, stabilitas kebijakan, dan risiko global.
“Masyarakat perlu realistis. Jangan tergoda imbal hasil tinggi tanpa mengukur risikonya. Instrumen seperti SBN dan reksa dana pasar uang relatif aman karena didukung regulasi dan transparansi. Namun, bagi investor jangka panjang yang siap menanggung volatilitas, saham di sektor hilirisasi dan infrastruktur bisa menjadi peluang besar. Sementara untuk pasar modal asing, investor pemula lebih bijak masuk lewat reksa dana global atau ETF ketimbang langsung membeli saham luar negeri,” ujar Yulianto kepada SUARA UTAMA, Senin (16/9).
Sebagai pembanding, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa minat investor ritel terhadap SBN ritel masih tinggi pada 2025, sementara reksa dana global berbasis ETF juga mencatat peningkatan permintaan. Hal ini mengindikasikan adanya tren diversifikasi portofolio masyarakat ke instrumen yang lebih stabil maupun ke pasar internasional.
Yulianto menambahkan, diversifikasi tetap menjadi kunci. “Pemerintah masih mengandalkan pajak sebagai sumber utama penerimaan. Maka, kebijakan fiskal ke depan bisa berdampak langsung pada iklim investasi. Investor sebaiknya jangan hanya menaruh dana di satu instrumen, tapi membaginya sesuai jangka waktu dan profil risiko,” tegasnya.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














