SUARA UTAMA – Jakarta, 4 September 2025 — Peristiwa penjarahan rumah pribadi Menteri Keuangan Sri Mulyani di Bintaro memicu beragam reaksi di masyarakat. Banyak pihak yang menyesalkan kejadian tersebut, sementara sebagian lainnya melihatnya sebagai cerminan dari ketidakpuasan rakyat terhadap situasi yang semakin sulit. Dalam unggahannya di media sosial, Sri Mulyani menekankan pentingnya menjaga demokrasi yang beradab, menentang anarki, dan mengajak masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan bangsa dengan mengedepankan etika dan moralitas.
Namun, seruan tersebut menimbulkan pertanyaan lebih mendalam: apakah Sri Mulyani telah menjalankan prinsip-prinsip adab dalam kebijakan fiskal negara?
Kebijakan Fiskal yang Meningkatkan Ketidakpuasan
Di tengah kesulitan ekonomi yang semakin dalam, di mana kemiskinan meluas dan harga kebutuhan pokok terus merangkak naik, pemerintah baru saja memutuskan untuk menaikkan gaji dan tunjangan anggota DPR. Keputusan tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan sebagian besar masyarakat, terutama mengingat beban ekonomi yang semakin berat bagi rakyat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ironisnya, gaji anggota DPR ini bahkan tidak dikenakan potongan pajak, sementara masyarakat diminta untuk terus berkontribusi melalui pembayaran pajak yang semakin memberatkan. Keputusan kenaikan ini, yang diumumkan dengan sorakan meriah di ruang parlemen, memunculkan pertanyaan: siapa yang merancang dan menyetujui anggaran kenaikan ini? Kementerian Keuangan, yang dipimpin oleh Sri Mulyani, memiliki peran penting dalam hal ini. Sebagai Bendahara Umum Negara, ia memiliki kendali atas alokasi anggaran, termasuk untuk belanja pegawai, yang salah satunya untuk anggota DPR.
Apakah Sri Mulyani Memahami Hukum Perpajakan?
Sri Mulyani kerap menekankan komitmennya terhadap UUD 1945 dan seluruh undang-undang yang berlaku. Namun, ada pertanyaan yang berkembang di kalangan publik mengenai bagaimana kebijakan perpajakan dijalankan.
Selama ini, kebijakan perpajakan yang dikelola oleh Sri Mulyani telah banyak mendapatkan sorotan, terutama terkait dengan tumpang tindih regulasi yang ada. Banyak aturan yang saling bertentangan, sementara UU Administrasi Pemerintahan yang seharusnya menjadi pedoman utama dalam menjalankan kewenangan fiskal, kerap kali dianggap belum diterapkan secara konsisten. Bahkan, beberapa kebijakan yang ditetapkan sering kali tidak diakui dalam proses hukum oleh pengadilan pajak.
Ruang Publik yang Terbatas
Lebih lanjut, Sri Mulyani memutuskan untuk menutup kolom komentar di akun media sosialnya, yang memunculkan kekhawatiran mengenai keterbukaan pemerintah terhadap masukan publik. Dalam sistem demokrasi yang sehat, pejabat publik seharusnya membuka ruang untuk dialog, bukan hanya menyampaikan pesan satu arah melalui media sosial. Tindakan ini menimbulkan pertanyaan terkait dengan tingkat akuntabilitas yang harus dipertanggungjawabkan oleh pejabat negara kepada publik.
Adab yang Berpihak pada Rakyat
Masyarakat tidak menuntut kesempurnaan, tetapi mereka menginginkan keadilan yang nyata. Ketika pelaku UMKM kecil kesulitan membayar pajak, ketika mahasiswa turun ke jalan karena biaya pendidikan yang semakin tinggi, dan ketika pengemudi ojek online kehilangan nyawa saat melakukan aksi damai, sementara elit politik dan birokrasi menikmati fasilitas dan tunjangan yang semakin besar, pertanyaannya adalah: siapa yang benar-benar mendengarkan keluh kesah rakyat?
Rinto Setiyawan, Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), mengatakan, “Kenaikan tunjangan DPR di tengah kondisi ekonomi yang sulit hanya memperburuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Kebijakan fiskal yang efektif harus mencerminkan keadilan sosial dan tidak menguntungkan kelompok elit saja.”
Sri Mulyani mungkin bisa menyampaikan permintaan maaf, doa, atau kata-kata indah tentang moralitas, tetapi rakyat membutuhkan keadilan fiskal yang nyata. Mereka membutuhkan sistem pajak yang adil dan kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat, bukan hanya pada kelompok elit dan penguasa.
Kesimpulan
Jika Sri Mulyani ingin menunjukkan bahwa negara ini beradab, maka ia harus mulai dengan ruang fiskal yang ia kendalikan. Demokrasi bukan hanya soal menjaga hukum saat menguntungkan, tetapi tentang menciptakan keadilan yang berpihak pada rakyat, dengan tanggung jawab yang jelas, dan keberanian untuk mengambil keputusan yang lebih adil bagi seluruh rakyat, bukan hanya untuk kepentingan kelompok elit atau partai politik.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














