Suara Utama,- Mutasi Letjen Kunto Arief Wibowo dari jabatan Pangkogabwilhan I dan Direvisi, Letjen Kunto Anak Try Sutrisno Tetap Jadi Pangkogabwilhan I.
Banyak yang menilai langkah ini bukan semata keputusan normatif dalam tubuh militer, melainkan sarat muatan politik. Mengingat latar belakang Letjen Kunto sebagai putra dari Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno—serta posisinya yang disebut-sebut dekat dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto, mutasi ini memunculkan pertanyaan besar: benarkah kubu politik Jokowi masih memegang kendali di tubuh militer, bahkan menjelang pergantian pemerintahan?
Kapan Mutasi Menjadi Polemik?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam tradisi TNI, mutasi dan rotasi adalah hal lazim yang bertujuan menjaga profesionalisme dan regenerasi kepemimpinan. Namun, mutasi Letjen Kunto dianggap janggal karena terjadi di tengah masa transisi politik, di mana presiden terpilih dari kalangan oposisi justru akan segera mengambil alih kekuasaan. Banyak yang membaca mutasi ini sebagai upaya power entrenchment, yaitu penanaman pengaruh kubu Jokowi hingga ke dalam tubuh militer untuk menjamin kepentingan politiknya tetap terjaga pasca-pemerintahan.
Siapa di Balik Keputusan?
Meski secara formal mutasi merupakan keputusan Panglima TNI dengan persetujuan Presiden, dinamika politik di balik layar sering kali lebih kompleks. Beberapa pengamat menilai bahwa lingkaran Jokowi—termasuk figur-figur kuat seperti Luhut Binsar Pandjaitan dan Andika Perkasa—masih memainkan peran dalam menentukan arah mutasi strategis di TNI. Penempatan jenderal-jenderal loyalis di posisi tertentu bisa menjadi alat untuk mengamankan kesinambungan pengaruh pasca-2024.
Kunto, Prabowo, dan Kekhawatiran Loyalitas
Letjen Kunto Arief Wibowo bukan sekadar perwira tinggi biasa. Selain berasal dari garis militer elite—Kunto dikenal memiliki kedekatan dengan Prabowo Subianto. Keduanya disebut-sebut memiliki pandangan yang sejalan dalam hal nasionalisme dan visi pertahanan negara. Kedekatan ini menimbulkan spekulasi bahwa Kunto bisa menjadi salah satu ujung tombak pembentukan lingkaran militer baru yang lebih loyal terhadap Prabowo ketika ia resmi menjabat sebagai Presiden RI.
Di sisi lain, kekhawatiran muncul dari pihak-pihak yang selama ini berada di sekitar Presiden Jokowi. Mereka tentu tidak ingin jaringan kekuasaan yang telah dibangun selama hampir satu dekade runtuh begitu saja saat Prabowo berkuasa. Dalam konteks ini, mutasi Kunto dapat dibaca sebagai upaya membatasi ruang geraknya dan mencegah terbentuknya loyalitas militer yang terlalu dini kepada pemimpin baru.
Ada pula kekhawatiran bahwa loyalitas internal TNI dapat terbelah. Di satu sisi, ada perwira-perwira yang tumbuh dalam era kepemimpinan Jokowi, yang telah menikmati struktur dan sistem promosi yang dibentuk selama dua periode. Di sisi lain, muncul figur-figur militer yang lebih dekat dengan Prabowo dan berpotensi menjadi tulang punggung kekuasaan barunya. Jika konflik ini tidak dikelola dengan bijak, TNI bisa terseret dalam tarik-menarik kepentingan politik yang membahayakan netralitas dan stabilitas institusinya.
Dalam sejarah politik Indonesia, militer kerap menjadi arena perebutan pengaruh. Oleh karena itu, mutasi Letjen Kunto menjadi simbol penting: apakah ini bagian dari proses alami regenerasi militer atau justru sebuah langkah strategis dari kekuatan yang belum rela melepas kuasa?
Apa Dampaknya Bagi Netralitas TNI?
Polemik ini menimbulkan kekhawatiran terhadap komitmen netralitas militer. TNI seharusnya berdiri di atas semua kepentingan politik dan menjunjung tinggi profesionalisme. Namun, jika benar terjadi intervensi atau politisasi mutasi, ini menjadi alarm serius bagi demokrasi dan supremasi sipil. Mutasi Letjen Kunto bukan lagi sekadar urusan karier perwira tinggi, melainkan refleksi dari pertarungan kekuasaan yang masih terus berlangsung di balik panggung pemerintahan.
Kesimpulan : Mutasi Letjen Kunto Arief Wibowo tak bisa dilepaskan dari konteks politik nasional yang sedang memasuki masa transisi kekuasaan. Di tengah harapan akan netralitas dan profesionalisme TNI, keputusan ini justru menimbulkan pertanyaan besar tentang siapa yang sebenarnya masih memegang kendali kekuasaan di balik layar. Kedekatan Kunto dengan Prabowo membuat mutasinya dibaca sebagai langkah antisipatif dari kekuatan politik lama—dalam hal ini kubu Jokowi—untuk mempertahankan pengaruh hingga ke tubuh militer.
Meski belum ada bukti konkrit intervensi politik langsung, gejala politisasi militer tetap perlu diwaspadai. Jika institusi sekuat TNI terus dijadikan arena tarik-menarik kepentingan elite, maka stabilitas demokrasi dan reformasi pertahanan bisa terancam. Ke depan, publik berharap bahwa transisi kekuasaan akan diikuti pula oleh peralihan kendali institusional yang sehat, tanpa praktik sabotase terselubung atau perebutan loyalitas.
Penulis : Tonny Rivani














