SUARA UTAMA, Surabaya — Dalam rangka memperingati Hari Pajak Nasional yang jatuh pada 14 Juli, RRI Surabaya mengadakan podcast bertajuk “Pajak Kita, Masa Depan Bangsa.” Podcast ini menghadirkan dua narasumber ahli di bidang perpajakan: Siti Rahayu, SE., M.Si., Penyuluh Pajak Ahli Madya dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dan Yulianto Kiswocahyono, SE., SH., BKP, seorang konsultan pajak. Acara dipandu oleh Mas Jo dan membahas pentingnya kesadaran pajak dalam mendukung pembangunan nasional.
Sejarah Hari Pajak: Menggugah Kesadaran Warga Negara
Siti Rahayu menjelaskan, Hari Pajak Nasional merujuk pada peristiwa bersejarah sidang BPUPKI pada 14 Juli 1945, ketika kata “pajak” pertama kali dicantumkan dalam draf UUD 1945, Pasal 23 ayat 2.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Penetapan ini secara resmi dituangkan dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-313/PJ/2017, dan pertama kali diperingati pada 14 Juli 2018,” ungkapnya.
Menurutnya, Hari Pajak bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya peran pajak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pajak sebagai Bagian dari Tanggung Jawab Sosial
Yulianto Kiswocahyono menegaskan bahwa pajak merupakan kewajiban yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan bernegara.
“Pajak bukan sesuatu yang harus ditakuti atau dihindari, melainkan dipatuhi. Hasil alam memang tidak dikenai pajak, namun begitu diolah, seperti ikan dalam kemasan sarden, maka akan dikenakan pajak,” jelasnya.
Ia menambahkan, pemahaman pajak harus ditanamkan sejak usia dini. “Saya membuka program magang untuk siswa SMA, SMK, dan mahasiswa agar mereka memahami langsung praktik perpajakan di lapangan,” tambahnya.
Dukungan untuk UMKM
Siti Rahayu mengungkapkan bahwa DJP telah memberikan insentif bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
“UMKM dengan omzet hingga Rp500 juta per tahun tidak dikenai Pajak Penghasilan (PPh), sesuai Pasal 7 ayat (1a) UU HPP. Sementara yang melebihi batas tersebut dikenai PPh final sebesar 0,5%,” terangnya.
Ia menekankan, pelaku usaha yang belum menghasilkan keuntungan tidak dibebani kewajiban membayar pajak.
NPWP, NIK, dan Manfaat Administratif
Dalam sesi tanya jawab, dibahas pula kewajiban memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Siti menjelaskan bahwa saat ini NIK berfungsi sebagai NPWP, namun aktivasi tetap perlu dilakukan di DJP.
“Tidak semua pemilik NIK otomatis menjadi wajib pajak. Yang menentukan adalah penghasilannya,” jelasnya.
Yulianto menambahkan bahwa NPWP juga dibutuhkan untuk berbagai keperluan administrasi, termasuk akses layanan pemerintah dan perlindungan hukum dalam transaksi keuangan.
Inovasi Teknologi dan Sanksi Perpajakan
DJP kini mempermudah pelaporan dan pembayaran pajak melalui layanan digital seperti E-Billing, E-Filing, dan aplikasi Coretax.
“Dengan inovasi ini, wajib pajak bisa menyelesaikan kewajiban dari mana pun,” ujar Siti.
Yulianto menambahkan, terdapat dua jenis sanksi bagi ketidakpatuhan: denda administratif sebesar Rp100.000 untuk keterlambatan pelaporan SPT, dan sanksi atas pajak terutang yang tidak dilaporkan. Bahkan, pelanggaran di atas Rp100 juta dengan unsur kesengajaan dapat dikenai pidana.
Edukasi Pajak untuk Generasi Z
Menutup diskusi, kedua narasumber sepakat bahwa edukasi perpajakan perlu menyasar generasi muda, khususnya Gen Z.
“DJP aktif memanfaatkan media sosial untuk menjangkau Gen Z, karena mereka adalah generasi yang akan menjadi tulang punggung bangsa,” kata Siti.
Sementara itu, Yulianto menambahkan, “Pendidikan pajak dimulai dari rumah. Satu keluarga, satu NPWP. Orang tua harus memberi contoh.”
Podcast ini menjadi pengingat bahwa pajak bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi bentuk kontribusi nyata setiap warga negara untuk kemajuan bangsa. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat, melalui edukasi dan kesadaran bersama, menjadi pondasi bagi sistem perpajakan yang adil dan berkelanjutan.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














