Suara Utama – Surabaya — 6 Oktober 2025 – Pernyataan AKP Y. Tedang, pejabat kepolisian yang menyebut bahwa “mahasiswa belum termasuk pembayar pajak”, menuai sorotan dan kritik tajam dari publik. Video berisi pernyataan tersebut beredar luas di media sosial setelah sang perwira menanggapi aksi unjuk rasa mahasiswa yang menyoroti kebijakan publik.
“Mahasiswa belum termasuk pembayar pajak, jadi jangan seenaknya menuntut,” ujar AKP Y. Tedang dalam potongan video yang viral di berbagai platform.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Publik Menilai Pernyataan Tersebut Menyesatkan
Ucapan itu langsung memancing reaksi luas. Banyak pihak menilai pernyataan tersebut tidak tepat secara hukum maupun logika fiskal.
Jika pernyataan AKP Y. Tedang diartikan secara literal, maka mahasiswa semestinya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) saat berbelanja di minimarket, membeli pulsa, atau makan di restoran cepat saji.
Padahal, setiap transaksi konsumsi di Indonesia secara otomatis mengandung PPN sebesar 11%, tanpa membedakan status sosial pembelinya baik pejabat, pegawai, maupun mahasiswa.
Lebih jauh, jika benar mahasiswa bukan pembayar pajak, maka seharusnya mereka juga tidak diwajibkan membayar pajak kendaraan bermotor (PKB) setiap tahun.
Namun kenyataannya, mahasiswa tetap harus membayar pajak kendaraan apabila kepemilikannya tercatat atas nama pribadi atau keluarga.
Analisis Fiskal: Pajak Ditentukan oleh Penghasilan, Bukan Status
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jo. UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), kewajiban pajak ditentukan berdasarkan penghasilan, bukan status sosial atau profesi.
Setiap warga negara yang memiliki penghasilan di atas batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) wajib membayar Pajak Penghasilan (PPh) sesuai ketentuan yang berlaku.
Dengan demikian, status sebagai mahasiswa, pelajar SMA, atau siswa SMP tidak otomatis menjadi alasan pembebasan pajak dalam sistem perpajakan nasional.
Mereka tetap berkontribusi terhadap penerimaan negara melalui pajak konsumsi seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ketika melakukan transaksi pembelian barang dan jasa. Artinya, setiap warga negara tanpa memandang usia atau status Pendidikan tetap memiliki peran fiskal dalam mekanisme penerimaan pajak negara.
Sebagai informasi, batas PTKP saat ini ditetapkan sebesar Rp54 juta per tahun atau Rp4,5 juta per bulan. Artinya, seseorang dengan penghasilan di atas angka tersebut wajib menyetor PPh sesuai tarif progresif.
Komentar Eko Wahyu Pramono: Mahasiswa Tetap Berkontribusi Fiskal
Eko Wahyu Pramono, Anggota Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) sekaligus mahasiswa Ilmu Hukum, menilai pernyataan AKP Y. Tedang perlu diluruskan agar tidak menyesatkan publik dan mempersempit pemahaman fiskal masyarakat.
“Pajak tidak mengenal status mahasiswa, pegawai, atau aparat. Yang diatur adalah penghasilan dan aktivitas ekonomi. Jika seseorang berpenghasilan di atas PTKP, dia wajib bayar pajak penghasilan. Sementara dalam konsumsi, semua orang tanpa kecuali sudah ikut menyumbang lewat PPN,” jelas Eko kepada Suara Utama, Senin (6/10/2025).
Eko menambahkan bahwa mahasiswa justru salah satu kelompok yang aktif berkontribusi pada penerimaan negara, baik secara langsung maupun tidak langsung.
“Setiap kali mahasiswa belanja, makan di kafe, isi bensin, atau beli paket data, di situ sudah ada pajak yang mereka bayar. Jadi klaim bahwa mahasiswa bukan pembayar pajak itu tidak berdasar dan menyesatkan,” tegasnya.
Refleksi: Masalahnya Bukan Siapa yang Bayar Pajak, Tapi Bagaimana Negara Mengelolanya
Lebih jauh, Eko menilai pernyataan AKP Y. Tedang menunjukkan lemahnya literasi fiskal di kalangan aparat negara. Menurutnya, narasi “tidak bayar pajak maka tak berhak menuntut” berpotensi menumbuhkan pandangan sempit dan antikritik.
“Masalahnya bukan siapa yang bayar pajak, tapi bagaimana pajak digunakan untuk kesejahteraan rakyat, termasuk mahasiswa. Jangan sampai pajak dipungut dari rakyat tapi tidak dirasakan manfaatnya,” ujarnya.
Eko juga mengingatkan bahwa hak menyampaikan pendapat di muka umum dijamin oleh konstitusi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
“Menjadi warga negara yang kritis adalah bagian dari kontribusi intelektual, bukan pelanggaran hukum,” tambahnya.
Penutup: Menjadi Terdidik Adalah Bentuk Pajak Intelektual
Polemik ini menjadi cermin bahwa pendidikan fiskal perlu diperkuat di semua lapisan masyarakat, terutama di lingkungan aparat penegak hukum dan lembaga publik.
“Menjadi terdidik tidak membuat seseorang langsung kaya, tetapi menjauhkan dari kemiskinan berpikir dan kesesatan logika”. tutup Eko Wahyu Pramono, mahasiswa Ilmu Hukum sekaligus Anggota IWPI.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














