SUARA UTAMA, Malang – Pada 16 Juni 2025, DPRD Kota Malang mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam rapat paripurna yang digelar pada akhir pekan ini. Dalam aturan tersebut, ditetapkan bahwa usaha dengan omzet minimal Rp15 juta per bulan akan dikenakan pajak sebesar 10 persen. Keputusan ini disahkan meskipun sempat terjadi perdebatan tajam antarfraksi yang menyebabkan sidang diskors selama 15 menit.
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi salah satu pihak yang menyampaikan keberatan. Anggota Fraksi PKB, Arif Wahyudi, menyampaikan bahwa batas omzet tersebut dinilai terlalu rendah dan berpotensi membebani pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). “Kami mengusulkan agar batas omzet minimal dinaikkan menjadi Rp25 juta per bulan untuk menghindari beban yang berlebihan bagi UMKM,” ujarnya dalam keterangan di sela sidang.
Selain itu, Arif juga menyampaikan kritik terhadap tidak dimuatnya klausul perlindungan bagi pedagang kaki lima (PKL) dalam draf perda tersebut. Ia menyebutkan bahwa pelaku usaha informal seperti PKL memerlukan perhatian khusus karena rentan terhadap tekanan ekonomi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun demikian, usulan tersebut tidak diakomodasi dalam keputusan akhir. Ketua DPRD Kota Malang, Amithya Ratnanggani Sirraduhita, menyatakan bahwa angka Rp15 juta merupakan hasil kompromi dari pembahasan panjang. “Usulan awalnya Rp5 juta. Angka Rp15 juta diputuskan sebagai hasil evaluasi bersama. Soal teknis pelaksanaan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Wali Kota,” ujarnya.
Pemerintah Kota Malang melalui Wakil Wali Kota, Ali Muthohirin, menyatakan bahwa pengaturan lebih lanjut terkait usaha informal termasuk PKL masih terbuka untuk dibahas. “Kebutuhan perlindungan bagi PKL akan dikaji lebih detail. Tidak menutup kemungkinan akan ada Perwali atau regulasi pelaksana lain yang lebih spesifik,” tuturnya.
Praktisi pajak Eko Wahyu berpendapat bahwa implementasi kebijakan tersebut perlu didasarkan pada klasifikasi usaha yang jelas. “Batas omzet harus disesuaikan dengan kondisi riil pelaku usaha di lapangan. Jika tidak, risiko ketidaksesuaian bisa terjadi dalam proses pemungutan pajak,” ujarnya.
Sementara itu, Yulianto Kiswocahyono, konsultan perpajakan, menekankan pentingnya edukasi dan pendampingan kepada pelaku usaha. “Penerapan pajak sebaiknya disertai sosialisasi intensif agar pelaku usaha tidak hanya patuh, tetapi juga memahami hak dan kewajiban perpajakannya,” jelasnya.
Dengan disahkannya perda ini, Pemerintah Kota Malang menyatakan akan melakukan tahapan sosialisasi kepada masyarakat dan pelaku usaha. Penerapan tarif pajak 10 persen direncanakan akan berlangsung dalam waktu dekat setelah seluruh aturan pelaksana disusun.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama