Suarautama.id, Gunungsitoli – Proses pengesahan Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Madula, Kecamatan Gunungsitoli, yang dilakukan oleh Camat Gunungsitoli pada 20 September 2024, memicu kontroversi dan protes dari sejumlah pihak. Haogowolohe Harefa, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua BPD, menyampaikan keberatannya atas penggantian dirinya tanpa pemberitahuan atau musyawarah terlebih dahulu. Ia juga mengungkapkan keanehan terkait pelatihan yang sudah diikuti oleh Ketua BPD yang baru, Manotona Harefa, sebelum surat pengesahan resmi diterbitkan.
Haogowolohe Harefa mengungkapkan bahwa dirinya baru mengetahui penggantian posisi sebagai Ketua BPD pada 20 September 2024, setelah surat pengesahan dari Camat Gunungsitoli diterbitkan. Haogowolohe yang kini menjabat sebagai anggota BPD periode 2024-2028 merasa bahwa penggantian tersebut dilakukan secara sepihak dan tanpa komunikasi atau musyawarah dengan pihak yang bersangkutan. Sebagai pejabat yang dilantik, Haogowolohe merasa seharusnya ada proses yang lebih transparan dalam hal pergantian tersebut.
Lebih lanjut, Haogowolohe menyoroti adanya kejanggalan dalam pelaksanaan pelatihan aparatur pemerintahan desa dan pengurus kelembagaan desa yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa, Kementerian Dalam Negeri. Meskipun surat pengesahan untuk Manotona Harefa sebagai Ketua BPD baru Desa Madula diterbitkan pada 20 September 2024, namun anehnya pada 13 September 2024 ia sudah terdaftar sebagai peserta pelatihan, yang berlangsung pada 23 September 2024. Kejanggalan ini memunculkan pertanyaan tentang prosedur pengesahan yang tidak sesuai dengan aturan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ini jelas ada ketidakberesan dalam proses ini. Ketua BPD yang baru sudah terdaftar untuk mengikuti pelatihan sebelum ada pengesahan resmi. Proses penggantian ini sangat tidak transparan dan merugikan pihak yang terdampak,” ujar Haogowolohe Harefa dalam wawancara dengan awak media, Kamis (09/01/25).
Menyikapi hal ini, Agri Helpin Zebua, Ketua DPW LSM KCBI Kepulauan Nias kepada awak media menyampaikan bahwa ia menilai bahwa proses pengesahan Ketua BPD yang baru telah melanggar sejumlah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ia juga menyebutkan bahwa pengesahan yang dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan musyawarah atau pemberitahuan terlebih dahulu kepada pihak yang bersangkutan berpotensi melanggar prinsip-prinsip dasar dalam tata kelola pemerintahan desa yang transparan dan akuntabel.
Helpin Zebua menyoroti pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 yang mengatur bahwa pengangkatan dan pemberhentian anggota BPD harus dilakukan melalui prosedur yang jelas dan hasil musyawarah dengan masyarakat desa. Pengesahan sepihak tanpa adanya musyawarah desa, kata Helpin, merupakan pelanggaran terhadap prinsip partisipasi masyarakat yang diatur dalam peraturan tersebut. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dalam Pasal 51 ayat (3), mengatur bahwa pengangkatan dan pemberhentian Ketua BPD harus dilakukan dengan keterlibatan masyarakat secara transparan. Proses yang tidak melibatkan musyawarah dan tidak ada pemberitahuan kepada pihak yang terdampak (Haogowolohe Harefa) dianggap bertentangan dengan ketentuan ini dan juga Permendagri Nomor 110 Tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa mengatur mekanisme yang harus diikuti dalam pemilihan, pengesahan, dan pemberhentian Ketua BPD. Pengesahan tanpa prosedur administrasi yang sah, menurut Helpin Zebua, merupakan bentuk pelanggaran terhadap aturan ini.
Helpin Zebua juga mengingatkan bahwa peran BPD dalam pengawasan keuangan desa sangat penting. Pengesahan Ketua BPD yang baru tanpa prosedur yang jelas dapat merusak kredibilitas dan integritas lembaga tersebut, yang pada gilirannya bisa berdampak pada pengelolaan keuangan desa yang seharusnya transparan dan akuntabel.
“Jika prosedur pengesahan ini memang melanggar aturan yang ada, kami mendesak pihak berwenang untuk melakukan penyelidikan yang mendalam. Pemerintahan desa harus berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku agar tidak ada penyalahgunaan wewenang dan agar masyarakat merasa aman dan dilibatkan dalam setiap proses yang terjadi,” ujar Helpin Zebua.
Terkait dengan dugaan pelanggaran ini, awak media telah mencoba mengonfirmasi kepada Camat Gunungsitoli dan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kota Gunungsitoli melalui pesan WhatsApp dan telepon. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada respons yang diterima dari kedua pihak tersebut.
Proses pengesahan Ketua BPD Desa Madula yang dilakukan tanpa prosedur yang transparan dan jelas menimbulkan pertanyaan besar tentang kepatuhan terhadap aturan perundang-undangan yang berlaku. Ketua DPW LSM KCBI Kepulaun Nias mendesak agar masalah ini segera diselidiki oleh pihak berwenang. Proses penggantian pejabat desa, khususnya Ketua BPD, harus dilakukan dengan mengikuti prosedur yang sah dan melibatkan masyarakat untuk menjaga prinsip demokrasi dan akuntabilitas dalam pemerintahan desa.