SUARA UTAMA — Dunia hiburan dan budaya pop global saat ini telah melampaui batas sekadar hiburan. Fenomena pengibaran bendera bajak laut One Piece di berbagai ruang publik Indonesia—mulai dari kendaraan pribadi, mural jalanan, hingga event komunitas—menjadi pertanda bahwa simbol asing kini telah menyelinap masuk ke ruang batin masyarakat, terutama generasi muda.
Ketika bendera fiksi bajak laut Jepang lebih dielu-elukan ketimbang Merah Putih, maka kita tidak sedang menyalahkan anime atau hiburan global, tapi sedang menyoroti kelengahan bangsa menjaga makna simbol kebangsaan.
Simbol Fiksi Menjadi Simbol Gaya Hidup
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Fenomena ini tak bisa dipandang sebelah mata. Menurut Dr. Endah Pramesti, pengamat budaya pop UI, “Simbol bajak laut seperti One Piece bukan hanya dinikmati, tapi mulai diinternalisasi. Mereka jadi identitas, bahkan kebanggaan, yang ironisnya tak dimiliki simbol-simbol bangsa sendiri.”
Media Kompas mencatat bahwa lebih dari 45% pelajar di Jakarta dan Bandung mengenali dan mengidolakan simbol bendera One Piece lebih cepat daripada lambang Garuda Pancasila, sebuah sinyal budaya yang patut disikapi serius.
Pandangan Politik: “Kita Sedang Kehilangan Pegangan Kultural”
Ketua MPR RI, H. Ahmad Muzani, dalam tanggapannya mengatakan:
“Saya kira kecintaan rakyat Indonesia kepada Merah Putih tidak akan tertukar dengan apa pun. Saya meyakini itu,” kata Muzani di gedung MPR RI, Jakarta, Minggu (3/8/2025).Muzani tak mau mempersoalkan lebih jauh fenomena itu. Dia mengatakan hati rakyat Indonesia pasti Merah Putih.
“Saya kira itu ekspresi kreativitas, ekspresi inovasi, dan pasti hatinya adalah merah putih, semangatnya merah putih, bentuknya adalah syukur kepada Allah, syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa Republik Indonesia sudah berumur 80 tahun dan harapannya negeri ini akan terus abadi dan bersama-sama membentuk masyarakat adil, makmur, sejahtera,” sebutnya
Pandangan Tokoh Agama: “Hati dan Simbol Harus Sejalan”
- Ahmad Mahrus, Sekjen MUI Bidang Dakwah, turut menanggapi fenomena ini dari sudut pandang nilai:
“Simbol adalah cerminan nilai. Jika anak-anak bangga dengan simbol bajak laut, maka kita harus bertanya: nilai apa yang sedang mereka serap? Kita harus hadir, bukan hanya dengan ceramah, tapi dengan simbol kebaikan yang kuat, visual, dan menyentuh.”
- Mahrus juga menekankan perlunya membumikan nilai-nilai kebangsaan dalam bahasa anak muda, termasuk melalui media sosial, dakwah digital, hingga literasi simbolik di sekolah-sekolah Islam.
Tokoh Politik Muda: “Lawan Mereka di Arena Kreatif, Bukan Lewat Larangan”
Tsamara Amany, aktivis politik muda dan pegiat literasi digital, menyebut bahwa fenomena ini adalah bukti lemahnya ekosistem simbol nasional di ruang digital.
“Anak-anak tak bisa dimarahi karena menyukai One Piece. Justru negara dan masyarakat harus bersaing sehat: hadir di ruang kreatif, bangun cerita lokal yang memikat, dan buat pahlawan Indonesia jadi inspirasi sejati.”
Ia mengusulkan agar Kementerian Pendidikan dan Kementerian Kominfo bekerja sama menggandeng kreator lokal, seperti animator, penulis komik, dan developer game, untuk menciptakan konten nasional yang bisa bersaing di platform global seperti TikTok, YouTube, dan Netflix.
Solusi Kultural yang Harus Diambil Negara
Masalah ini tak bisa ditangani dengan pelarangan simbol asing. Yang dibutuhkan adalah strategi kebudayaan yang visioner dan taktis:
- Rebranding Simbol Nasional dengan Sentuhan Kreatif
Desain ulang narasi Garuda, Pancasila, dan tokoh bangsa agar tampil visual, dinamis, dan relatable di era digital. - Investasi Negara pada Industri Kreatif Nasional
Dana APBN untuk perfilman, komik, musik, dan literasi digital patriotik perlu ditingkatkan, bukan hanya ceremonial tapi masuk dalam program jangka panjang. - Kurikulum Budaya dan Karakter yang Adaptif
Bangun generasi yang tidak hanya hafal teks Pancasila, tapi juga mencintai dan mewujudkan semangatnya lewat media yang mereka nikmati. - Gerakan Nasional: #BanggaSimbolBangsa
Kampanye nasional melibatkan tokoh agama, influencer, selebriti, dan pendidik untuk memulihkan cinta pada simbol bangsa secara kolektif dan kreatif.
Penutup: Jangan Biarkan Simbol Bangsa Menjadi Sekadar Upacara
Kita tidak sedang bersaing dengan anime atau budaya pop asing. Kita sedang mempertaruhkan ruang makna dan identitas di hati anak-anak bangsa. Ketika simbol fiksi lebih dielu-elukan dibanding bendera negara sendiri, itu bukan hanya persoalan tren—itu cerminan ketidakhadiran negara dalam membentuk narasi kebanggaan.
Namun masih belum terlambat. Kita bisa rebut kembali makna itu—dengan budaya, dengan kreativitas, dan dengan keberanian menyentuh generasi baru lewat cara mereka berbahasa: digital, visual, dan emosional.
Karena pada akhirnya, nurani rakyat Indonesia tetap Merah Putih.
Di dadaku. Di dadamu.
Bukan bajak laut yang kita kibarkan,
melainkan keberanian, kesetiaan, dan cinta Tanah Air
yang lahir dari sejarah,
dan hidup dalam hati bangsa.














