SUARA UTAMA – Sepanjang 2025, Indonesia kembali dihadapkan pada rangkaian bencana alam yang terjadi hampir tanpa jeda. Banjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan muncul silih berganti di berbagai wilayah, sering kali di lokasi yang sama dan dengan pola yang berulang. Fakta ini menunjukkan bahwa bencana tidak lagi dapat dipahami semata sebagai peristiwa alamiah, melainkan sebagai indikasi kegagalan tata kelola lingkungan dan pembangunan yang belum dibenahi secara mendasar.
Bencana yang Menjadi Pola
Bencana alam pada 2025 tidak berdiri sebagai peristiwa luar biasa, tetapi telah membentuk pola tahunan. Setiap musim hujan, wilayah rawan banjir kembali terdampak. Setiap kemarau, kekeringan dan kebakaran lahan muncul dengan skala yang tidak jauh berbeda. Pola berulang ini mengisyaratkan bahwa risiko telah dikenali, tetapi belum dikelola secara efektif.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketika bencana dapat diprediksi namun tetap terjadi, persoalannya bukan lagi pada ketidakpastian alam, melainkan pada kesiapan kebijakan.
Antara Iklim dan Kebijakan
Perubahan iklim global memang berkontribusi pada meningkatnya cuaca ekstrem. Namun, dampaknya menjadi lebih serius ketika bertemu dengan kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia. Deforestasi, alih fungsi lahan, penyempitan daerah resapan air, serta pembangunan di kawasan rawan bencana memperbesar risiko yang seharusnya dapat dikendalikan.
Dalam konteks ini, bencana alam merupakan akumulasi dari pilihan kebijakan jangka panjang yang mengabaikan daya dukung lingkungan.
Pembangunan yang Memperbesar Kerentanan
Pembangunan adalah keniscayaan, tetapi ia menuntut kehati-hatian. Sepanjang 2025, terlihat bahwa pertumbuhan belum sepenuhnya disertai pengelolaan risiko yang memadai. Dokumen tata ruang dan analisis dampak lingkungan sering kali tidak menjadi rujukan utama dalam pengambilan keputusan.
Akibatnya, pembangunan yang diharapkan meningkatkan kesejahteraan justru memperbesar kerentanan masyarakat terhadap bencana.
Negara dan Orientasi Penanganan
Penanganan bencana masih didominasi pendekatan darurat. Negara hadir ketika bencana telah terjadi, menyalurkan bantuan, dan melakukan pemulihan sementara. Namun, investasi pada mitigasi, rehabilitasi ekosistem, dan penegakan hukum lingkungan belum menjadi arus utama kebijakan.
Padahal, pencegahan merupakan bentuk kehadiran negara yang paling strategis dan berkelanjutan.
Bencana sebagai Ukuran Tata Kelola
Dalam perspektif kebijakan publik, bencana alam adalah indikator kualitas tata kelola. Ia mencerminkan sejauh mana pembangunan dirancang dengan prinsip kehati-hatian, keberlanjutan, dan keadilan antargenerasi. Ketika risiko terus meningkat, pertanyaan yang relevan bukan hanya tentang cuaca, tetapi tentang arah dan konsistensi kebijakan.
Penutup: Kaleidoskop 2025 seharusnya tidak berhenti pada pencatatan jumlah bencana dan korban. Ia perlu dibaca sebagai peringatan bahwa masalah utama terletak pada tata kelola. Bencana alam memang tidak dapat dihindari sepenuhnya, tetapi dampaknya sangat ditentukan oleh keputusan yang diambil jauh sebelum bencana terjadi.
Menutup 2025, rangkaian bencana alam seharusnya dibaca bukan sekadar sebagai catatan peristiwa, melainkan sebagai cermin arah pembangunan yang sedang ditempuh. Alam telah memberi sinyal berulang, dengan cara yang kian keras dan mahal biayanya. Jika sinyal ini kembali diabaikan, maka bencana di masa depan tidak lagi dapat diposisikan sebagai musibah yang tak terelakkan, melainkan sebagai konsekuensi dari pilihan tata kelola yang terus dibiarkan. Di titik inilah, kaleidoskop 2025 menuntut lebih dari sekadar simpati—ia menuntut koreksi kebijakan dan keberanian untuk berubah.
Jika pelajaran ini tidak segera ditindaklanjuti, maka bencana di masa depan tidak lagi dapat disebut sebagai musibah semata, melainkan sebagai konsekuensi dari kegagalan mengelola ruang hidup bersama.
Penulis : Tonny Rivani












