SUARA UTAMA – Kita sedang hidup di era penuh paradoks. Informasi tersedia tanpa batas di ujung jari, membuat kita merasa pintar dan terhubung. Namun, pada saat yang sama, kita juga semakin rentan terhadap manipulasi. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang diskursus, justru sering kali berubah menjadi ladang ranjau disinformasi dan hoaks.
Data Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menunjukkan bahwa ribuan konten palsu diidentifikasi setiap tahun. Fakta ini menandakan bahwa virus kebohongan telah menjadi endemik. Fenomena tersebut bukan lagi sekadar bahan candaan di grup keluarga, melainkan strategi terstruktur yang dirancang untuk merusak nalar, mengoyak persatuan, bahkan memengaruhi hasil politik. Di tengah keriuhan digital seperti ini, menjadi warga negara yang kritis bukan lagi pilihan—melainkan kewajiban moral.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kewarganegaraan Kritis dan Hikmat Kebijaksanaan
Mengapa kita harus menjadi warga negara yang kritis? Karena tanpa sikap kritis, kita melanggar prinsip dasar kerakyatan kita sendiri. Kewarganegaraan kritis merupakan manifestasi paling konkret dari Sila Keempat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Kebijaksanaan menuntut kita untuk menahan diri, memilah, dan menimbang fakta sebelum berpendapat atau bertindak. Ia melarang kita bersikap impulsif, apalagi bertindak berdasarkan emosi yang dipicu kabar bohong.
Buktinya nyata: saat Pilkada atau Pemilu, isu-isu sensitif kerap diracik dengan sentuhan emosi, lalu disebarkan melalui bot dan akun palsu. Targetnya jelas—masyarakat yang minim literasi digital. Akibatnya, jutaan orang terpolarisasi dan saling menyerang, bukan karena perbedaan ideologi yang matang, melainkan karena termakan narasi fiktif.
Dalam konteks ini, kewarganegaraan kritis berfungsi sebagai saringan. Ia menuntut kita untuk bertanya: siapa yang diuntungkan dari berita ini? apa buktinya? Kegagalan menerapkan sikap skeptis yang sehat berarti kita telah menggadaikan hikmat kebijaksanaan dan membiarkan demokrasi kita didikte oleh ilusi.
Perlawanan Dimulai dari Diri Sendiri
Kita tidak bisa menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab melawan disinformasi kepada pemerintah melalui sensor atau pemblokiran. Perlawanan itu harus dimulai dari diri sendiri, dari rumah, dan dari sekolah.
Solusi pertama adalah reformasi mendasar dalam dunia pendidikan. Literasi digital tidak boleh lagi menjadi materi tempelan, tetapi harus diintegrasikan sebagai inti dari cara berpikir. Siswa perlu diajarkan cara memverifikasi foto, mengenali deepfake (rekayasa gambar atau video palsu berbasis kecerdasan buatan), dan memahami motivasi di balik algoritma media sosial.
Kedua, sebagai pengguna media sosial, kita perlu menjalankan “Puasa Jempol.” Sebelum menekan tombol “Bagikan” atau “Suka,” beri jeda lima detik. Gunakan waktu itu untuk melakukan verifikasi silang sederhana, atau mencari tahu apakah berita tersebut sudah dibantah oleh lembaga fact-checking tepercaya. Kita harus membangun budaya malu kolektif terhadap penyebaran hoaks.
Kepada para influencer dan pemilik akun besar, tanggung jawab Anda lebih berat. Jadilah mercusuar kejujuran, bukan corong kebencian.
Menegakkan Pancasila di Era Digital
Badai disinformasi akan terus datang seiring perkembangan teknologi. Namun, sebagai pewaris Pancasila, kita memiliki fondasi moral untuk menghadapinya. Kewarganegaraan kritis adalah perisai yang melindungi nalar kita—dan pada akhirnya, melindungi keutuhan bangsa.
Jangan biarkan layar gawai merampas kedaulatan pikiran Anda. Mari kita tegakkan Sila Keempat dalam keseharian digital kita: berpikir dengan hikmat, bertindak dengan kebijaksanaan. Ingat, satu jempol yang bertanggung jawab adalah benteng terkuat melawan keruntuhan sebuah bangsa.
Penulis : Desna Lia Nurhudha
Editor : RM Ardillah Rakhman














