PENULIS mengidentifikasikan empat model penyediaan jasa pendidikan: (1) adanya institusi pendidikan tinggi luar negeri yang menawarkan kuliah melalui internet dan on-line degree program, (2) mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri; (3) kehadiran perguruan tinggi luar negeri bermodel partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal, dan (4) dosen asing mengajar pada lembaga pendidikan tinggi lokal. Landasan jenis layanan tersebut adalah keniscayaan akan Era Perdagangan Bebas dan negara-negara yang ikut menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) mengatur liberalisasi perdagangan sektor jasa, antara lain layanan pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat. Sejalan dengan pandangan ilmu ekonomi, ditetapkanlah bahwa pen- didikan sebagai satu sektor industri yang melaksanakan kegiatan pokok mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan tidak punya keterampilan menjadi berpengetahuan dan berketerampilan.
Kontribusi sektor tersebut terhadap produk nasional suatu bangsa memang cenderung meningkat seiring dengan kemajuan pembangunan bangsa tersebut. Selama ini di negara-negara maju, perdagangan jasa tumbuh pesat dan telah memberikan sumbangan besar pada produk domestik bruto, lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya. Sebagai contoh, sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai sekitar 4 sampai 6 persen dari penerimaan sektor jasa negara maju. Bahkan, sektor jasa pendidikan telah menyumbangkan 60,00 – 70,00 persen pada PDB Australia, menyerap 80 persen tenaga kerja dan merupakan lebih dari 20 persen dari ekspor total Negara Kangguru tersebut. Industri jasa berorientasi paling menonjol adalah komputasi, pendidikan dan pelatihan. Fakta tersebut bisa menjelaskan mengapa negara-negara maju sangat getol menuntut liberalisasi sektor jasa pendidikan.
Sejak Indonesia menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia, telah diatur tata-perdagangan barang, jasa dan hak atas kepemilikan intelektual. Sebagai negara dengan 280 juta penduduk dan tingkat partisipasi pendidikan tinggi masih rendah (masih berkisar antara 20 – 25 persen), negara kita tentu menjadi pasar menjanjikan bagi negara eksportir jasa pendidikan dan pelatihan. Ekspor jasa Pendidikan Tinggi masih dan akan terus ingin dimasuki oleh negaranegara maju, termasuk pendidikan vokasional dan profesi. Jelas sekali bukan motif humanitarian yang mendorong para provider pendidikan tinggi mereka untuk membangun pendidikan tinggi Indonesia. Motif for-profit adalah pendorong utamanya. Logika yang mendasarinya diturunkan dari ideologi neoliberalisme, yang di dalam filsafat politik kontemporer memiliki afinitasnya dengan ideologi tersebut dan yang direntang melampaui batas ekstrim.
Ideologi tersebut membela kebebasan pasar dan menuntut peran negara yang terbatas. Neo-liberalisme percaya pada pentingnya institusi kepemilikan privat dan efek distributif dari eksplorasi kemakmuran yang tidak terbatas oleh korporasi-korporasi transnasional. Neoliberalisme menekankan superioritas hukum pasar sebagai mekanisme distribusi sumber daya, kekayaan dan pendapatan yang paling efektif. Neo-liberalisme percaya sungguh pada keunggulan pasar bebas sebagai mekanisme sangat penting untuk menjamin kemakmuran dan peningkatan kesejahteraan semua orang dan individu. Bagaimanapun, globalisasi merupakan interdependensi yang tidak simetris, karena lebih menguntungkan negara yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi – bahkan praktik tersebut sangat bertentangan dengan keseluruhan dari UUD 1945. Hal ihwal tersebut tidak sesuai dengan tujuan awal globalisasi yang kita pahami selama ini, yaitu membuka perluang bagi negara berkembang untuk meningkatkan kesejahteraannya secara adil melalui perdagangan global.
Apabila dikaitkan dengan Uang Kuliah Tunggal, globalisasi: (1) ”mengompori” Perguruan Tinggi agar berperan dalam mengakomodasi ekspansi jasa pendidikan tinggi, (2) globalisasi tidak serta merta menawarkan peluang menjanjikan bagi pendidikan tinggi Indonesia yang mungkin diyakini oleh banyak ahli ekonomi, dan (3) di bawah tekanan ekspansi perlahan-lahan akan tetapi pasti, sesuatu yang berharga tidak dapat kita pertahankan dari komodifikasi dan komersialisasi sistem ekonomi global. Semua itu dapat terjadi melalui proses marjinalisasi kekuasaan dan otoritas negara-negara Dunia Ketiga dalam pengaturan ekonomi nasional mereka. Hal ini terjadi dalam lima tahapan perkembangan, yaitu deregulasi: (1) sistem keuangan internasional yang telah mengubah semua aset keuangan dunia ke dalam spekulasi kapital, (2) ekonomi Dunia Ketiga secara sistematik dan bertahap, melalui program-program penyesuaian struktural mengintegrasikan negara-negara sedang berkembang ke dalam sistem pasar global, (3) semua stock markets di seluruh dunia, (4) produksi pertanian dan komersialisasi jasa yang timbul sebagai konsekuensi dari perjanjian-perjanjian internasional, dan (5) proliferasi kemudahan-kemudahan pajak dan perbankan (tax and banking havens) yang telah menghasilkan separuh dari seluruh aliran keuangan dunia melalui kemudahan – kemudahan bebas hambatan dari semua bentuk kendala legal karena kekuasaan publik mengikuti ketidakpedulian kebijakan sebagai suatu strategi merusak budaya. Globalisasi atau liberalisasi pendidikan tinggi yang sedang terjadi melalui jalur pasar bebas memang harus dihadapi dengan sangat hati-hati oleh Indonesia.
Kita secara luas perlu bereaksi secara terbuka untuk meninjau pemberlakuan pendidikan tinggi sebagai komoditi yang diatur melalui perdagangan bebas. Kita harus memperjuangkan untuk memasukkan “pengetahuan” dan “pengetahuan asli” sebagai salah satu kategori “komoditi”. Kita perlu merancang kebijakan antisipatif secermat mungkin agar globalsasi tidak menghancurkan sektor pendidikan tin seperti yang terjadi di sektor lain. Perlu kita sadari bahwa pendidikan mempunyai tiga tugas pokok, yakni mempreservasi, mentransfer dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya. Pendidikan juga sangat vital peranannya dalam mentransfer nilai-nilai dan jati diri bangsa (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Karakter, dan Pendidikan Kewiraan dan lainnya).
Karena itu, setiap upaya untuk menjadikan pendidikan dan pelatihan sebagai komoditi memang perlu disikapi dengan semangat nasionalisme yang tinggi serta dengan kritis oleh Masyarakat kita. Meskipun konstelasi kekuasaan global sepertinya menyulitkan perguruan tinggi Indonesia untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang kuat yang dapat menggoyahkan arsitektur kekuasaan global tersebut, dalam perspektif jangka panjang perlu dikembangkan jaringan kerjasama nasional, regional dan internasional untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang berarti. Kita harus menyadari bahwa internasionalisasi dan globalisasi ibarat kembar siam yang hampir sama bentuk fisiknya tetapi berbeda sifat dan wataknya. Atau dapat juga diibaratkan sebagai orang yang memiliki kepribadian ganda (bahkan menjadi banyak kepribadian seperti menutup Perguruan Tinggi)). Memang, kita pun menyadari bahwa pendidikan tinggi, telah lama, atau bahkan sejak awal kelahirannya telah berkenalan baik dengan internasionalisasi (termasuk buah dari internasionalisasi ilmu pengetahuan, seni dan budaya).
Bahkan dalam Pembukaan UUD 1945 tercantum jelas bahwa salah satu tujuan pendirian Repbulik Indonesia dijiwai semangat internasionlisme yaitu “ … ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial … “ Namun, perlu kita sadari walaupun ada manfaat besar dan positif dari internasionalisasi, hendaklah kita pun berani dan mau memisahkan diri dari arus internasionalisasi tersebut. Kita perlu mempunyai strategi dalam menyikapi globalisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi, secara terbuka dan positif. Di seluruh dunia memang sedang terjadi perkembangan, walaupun dengan kecepatan yang berbeda-beda untuk menuju deregulasi pendidikan tinggi.
Masyarakat sudah mulai harus diajak kepada pemikiran yang lebih terbuka bahwa fungsi layanan pendidikan tinggi merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Dengan demikian lembaga-lembaga swasta pun perlu diberi kesempatan yang besar dalam penyediaan layanan tersebut. Strategi pertama adalah bahwa kita pun perlu memberikan kesempatan bagi lembaga pendidikan dari luar negeri, tetapi dengan memperhatikan kepentingan dan tujuan Nasional. Strategi kedua adalah melalui pendekatan jaminan mutu melalui pendampingan dan bantuan dari negara secara bertahap sesuai karakteristik Perguruan Tinggi. Kemudian, perlu dilanjutkan dengan program akreditasi yang lebih tertata dan berkembang. Strategi ketiga yang perlu kita tempuh adalah meningkatkan dan mengembangkan sistem akreditasi.
Sistem sebagaimana dimaksud akan dapat berjalan dengan baik dan tidak terlalu sukar melalui program transisi ke program akreditasi berstandar yang akan lebih memperbesar akses masyarakat memasuki duia Pendidikan Tinggi. Dalam kaitan dengan” kesegeraan” dalam membuat pendidikan tinggi menuju perdagangan jasa bebas, kita dapat saja mengajukan pertanyaan riset seperti, ”apakah internasionalisasi pendidikan tinggi bertujuan memperbaiki mutu serta akses atau yang dominan adalah gangguan terhadap kedaulatan Negara dalam mencapai tujuan Negara (UUD 1945)? Atau, ”apakah aturan pendidikan tinggi yang telah kita rumuskan akan menjadi ’korban’ komersialisasi pendidikan tinggi dari luar negeri?” Apa pun itu, kita masih harus menyelenggarakan pendidikan tinggi. Kita masih harus mempreservasi diri sebagai bangsa yang berdaulat.
Kita masih harus dan terus menerus menambah akses dan meningkatkan pemerataan/kesempatan bagi masyarakat agar dapat belajar di Perguruan Tinggi. Memang, secara bersamaan kita pun harus mempersiapkan diri dalam menghadapi tuntutan serta tantangan dengan kekuatan sendiri. Kita harus menjunjung tinggi nilainilai serta tetap teguh sebagai bangsa. Kita harus terus meningkatkan mutu. Kalau tidak, sadar atau pun tidak, sesungguhnya kita ”mengundang” masuknya penyedia jasa pendidikan dan pelatihan luar negeri ke Indonesia. Kita harus mengkaji secara cermat mengenai intervensi pemerintah dalam sektor jasa tersebut. Terima kasih.* *Penulis adalah pengajar Prodi Magister Pendidikan Untan Pontianak
Penulis : Dr. Mohamad Rif'at
Editor : Alvi Mustofa Pasha
Sumber Berita : Pontianak Post