SUARA UTAMA – Surabaya, 1 November 2025 – Sebagaimana dibahas dalam diskusi pada tanggal 31 Oktober 2025 tentang “Klasifikasi Pajak Usaha Kos”, para pelaku usaha dan pemerhati perpajakan menyoroti tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengenaan pajak usaha kos-kosan di Indonesia.
Diskusi yang dipimpin oleh Yulianto Kiswocahyono, SE, SH, BKP, seorang Konsultan Pajak Senior, tersebut menyoroti persoalan utama yang dihadapi wajib pajak yakni perbedaan klasifikasi antara Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang seringkali menimbulkan kebingungan dan risiko koreksi ganda.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dualisme Pajak Pusat dan Daerah
Dalam pemaparannya, Yulianto menjelaskan bahwa pengenaan pajak terhadap usaha kos sangat bergantung pada durasi sewa, jumlah kamar, serta layanan yang diberikan.
Jika sebuah usaha kos hanya menyediakan kamar tanpa layanan tambahan seperti resepsionis atau housekeeping, maka tergolong objek PPh Final sewa tanah dan bangunan di bawah kewenangan pajak pusat. Namun, jika usaha kos menawarkan fasilitas tambahan seperti layaknya hotel atau melakukan transaksi melalui OTA (Online Travel Agent), maka masuk dalam kategori PBJT jasa perhotelan yang menjadi wewenang pemerintah daerah.
Ia menegaskan bahwa meskipun Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 (tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan) telah memberikan pedoman, implementasinya di berbagai daerah masih belum seragam.
Dampak bagi Pelaku Usaha
Diskusi tersebut juga membahas hasil kajian simulasi yang ditampilkan dalam dokumen “Klasifikasi Pajak Usaha Kos”, di mana perbedaan klasifikasi pajak berdampak langsung terhadap beban usaha.
Usaha kos harian dengan layanan hotelik dapat terkena pajak hingga 25%, sementara kos bulanan tanpa layanan hanya dikenai pajak sekitar 0,5%.
Perbedaan signifikan ini menimbulkan dampak terhadap daya saing, harga sewa, dan margin keuntungan pengusaha kos. Selain itu, area abu-abu seperti perbedaan definisi “layanan hotelik” antar daerah serta pemisahan biaya sewa dan jasa kerap menimbulkan sengketa pajak antara pelaku usaha dan otoritas pajak.
Saran dari Konsultan Pajak Senior
Sebagai Konsultan Pajak Senior, Yulianto memberikan beberapa rekomendasi strategis agar pengusaha kos dapat menjaga kepatuhan sekaligus menghindari sanksi administratif, antara lain:
- Melakukan audit kontrak sewa secara berkala untuk memisahkan komponen jasa dan sewa dengan jelas.
- Berkoordinasi aktif dengan instansi pajak pusat (DJP) dan daerah (Bapenda).
- Mengimplementasikan sistem pencatatan digital agar pelaporan lebih transparan dan terintegrasi.
- Membuat pelaporan pajak terpisah antara PPh pusat dan PBJT daerah.
“Pemilik usaha kos harus memahami bahwa kedua jenis pajak PBJT dan PPh bisa berlaku bersamaan, tetapi mekanisme pelaporannya berbeda. Pemisahan administrasi dan kontrak adalah kunci untuk menghindari koreksi ganda,” ujar Yulianto, dalam sesi diskusi tersebut.
Harapan untuk Regulasi Terpadu
Peserta diskusi sepakat bahwa pemerintah perlu segera menyusun pedoman terpadu nasional yang mengatur secara jelas batas kewenangan pajak pusat dan daerah dalam usaha kos. Harmonisasi regulasi tersebut diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan mendukung pertumbuhan sektor hunian sewa yang menjadi bagian penting dari industri properti nasional.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














