Suara Utama — Penelantaran anak adalah suatu bentuk pengabaian atau tidak-pedulian terhadap kebutuhan dasar anak, baik itu secara fisik, emosional, atau psikologis. Hal ini mencakup berbagai bentuk penelantaran, seperti pengabaian kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal yang layak, pendidikan, serta kebutuhan emosional dan psikologis anak. Di Indonesia sendiri, fenomena penelantaran anak terus menjadi masalah yang serius dan memprihatinkan, meskipun ada upaya dari berbagai pihak untuk mengurangi jumlah kasus ini.
Berdasarkan data yang kami dapatkan melalui website resmi SIMFONI-PPA yang dikelola oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), jumlah kasus kekerasan terhadap anak per 15 Januari 2025 tercatat sebanyak 569 kasus, dengan 58 diantaranya merupakan kasus penelantaran anak. Angka ini sejatinya hanya mencakup sebagian kecil dari jumlah kasus yang ada karena banyak kasus penelantaran anak yang tidak dilaporkan. Meskipun terjadi penurunan jumlah kasus dalam beberapa tahun terakhir, masalah penelantaran anak tetap menjadi perhatian utama.
“Fenomena penelantaran anak juga sering kali dipengaruhi oleh faktor sosial-ekonomi. Keluarga yang hidup dalam kemiskinan cenderung lebih rentan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar anak mereka. Selain itu, faktor ketidakharmonisan keluarga, kurangnya pengetahuan tentang pengasuhan yang baik, serta terjadinya kehamilan di luar nikah pada usia anak turut memperburuk kondisi ini.” Demikian analisa Keumala Dewi, Direktur Eksekutif Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), pada siaran persnya. Hal ini juga selaras oleh pernyataan dari Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian PPPA Pribudiarta Nur Sitepu melalui keterangannya, “Kasus pembuangan dan penelantaran bayi maupun anak yang banyak ditemui sebagian besar terjadi akibat pergaulan bebas yang menyebabkan kehamilan di luar nikah.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lemahnya Penanganan Kasus Penelantaran Anak yang Masih Menjadi Polemik
Mala, panggilan akrab Keumala Dewi, menambahkan, “situasi penelantaran dan pembuangan anak sering kali merupakan akibat dari berbagai faktor sebelumnya, seperti kemiskinan, pola asuh yang buruk, penyalahgunaan media sosial, serta ketidak-siapan orang tua dalam menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan. Banyak orang tua yang belum siap secara ekonomi, psikis, atau mental untuk mengasuh dan mendidik anak yang lahir dari hubungan yang tidak didasari oleh kedewasaan atau kesiapan finansial.” Demikian tambah Mala yang ditemui di sela-sela diskusi dalam pembahasan terkait respon terhadap kasus penelantaran anak yang terus menjadi sorotan pada Rabu (14/1/2025).
Beliau juga menyatakan bahwa masalah ini semakin diperburuk oleh ketidak-siapan sistem pemerintahan dalam melakukan pemulihan (recovery) terhadap situasi ini, serta lemahnya penegakan hukum yang tidak memberikan efek jera atau rasa takut bagi pelaku penelantaran dan pembuangan anak. Oleh karena itu, sangat penting untuk memastikan penanganan kekerasan terhadap anak, termasuk penelantaran dan bentuk kekerasan lainnya, melalui penegakan hukum yang konsisten dan berfokus pada kepentingan terbaik bagi anak.
“Sayangnya, di Indonesia, upaya ini masih sangat minim, sehingga fenomena ini terus berkembang seperti bola salju, dengan masalah yang semakin besar akibat ketidakmampuan pemerintah untuk merespons secara efektif,” imbuhnya.
Lebih lanjut, sering kali ditemukan kasus penelantaran anak di mana orang tuanya masih berada dalam rentang usia anak-anak. Banyak dari kasus ini terjadi akibat kehamilan di luar nikah, yang sering kali dipicu oleh berbagai faktor. Salah satu faktor utama adalah minimnya fungsi kontrol dari keluarga dan lingkungan sekitar. Ketika peran keluarga tidak maksimal dalam memberikan pengawasan dan pendidikan yang baik, anak-anak cenderung terjerumus dalam pergaulan bebas, yang pada akhirnya dapat berujung pada kehamilan yang tidak diinginkan dan penelantaran anak.
Sementara Ranap H. Sitanggang, S.H., M.H., Staf Litigasi/Advokat Yayasan PKPA, merasa bahwa, “penanganan kasus penelantaran anak membutuhkan pendekatan yang komprehensif. Tidak hanya berfokus pada penegakan hukum, tetapi juga perhatian terhadap anak selaku orang tua yang awalnya adalah korban tindak pidana tapi kemudian diduga sebagai pelaku penelantaran anak. Anak-anak ini memerlukan perhatian khusus dari masyarakat, pemerintah, serta orang tua dan keluarga, dengan pendekatan yang berfokus pada pencegahan dan pemulihan.” tuturnya.
Mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan kesehatan reproduksi melalui lembaga pendidikan. Hal ini bisa dilakukan dengan kolaborasi antara dunia pendidikan dan lembaga yang berwenang. Selain itu, juga pendampingan dari psikologis mereka agar tidak ada tindakan kesekian lainnya. Penting untuk memberikan pendampingan psikologis kepada anak yang terlibat dalam penelantaran anak agar mereka dapat memahami dampak dari tindakan mereka. “Pendampingan ini akan membantu mereka mengembangkan kedewasaan emosional dan kognitif.” Tambah Ranap.
Kasus penelantaran anak sendiri sering terjadi karena belum matangnya emosi anak dalam memikul tanggung jawab sebagai orang tua. “Anak remaja masih berada dalam tahap perkembangan, di mana kemampuan kognitif mereka belum sempurna. Dalam hal pengambilan keputusan, mereka juga belum stabil. Pada usia ini, mereka cenderung ingin mengeksplorasi, tetapi pada saat yang sama dihadapkan pada tanggung jawab besar sebagai orang tua sehingga berujung pada menelantarkan anak.” Ungkap Sarah Aisyah Ahmad, S.Psi., Staf Konselor Yayasan PKPA.
Kedepannya, diharapkan adanya peningkatan kesadaran akan hak-hak anak, perbaikan sistem perlindungan anak, dan dukungan yang lebih besar terhadap keluarga-keluarga yang mengalami kesulitan untuk mengatasi tantangan dalam pengasuhan anak.
Jika kamu membutuhkan layanan pengaduan kasus anak dan perempuan, silahkan menghubungi Hotline Layanan Pengaduan Kasus Yayasan PKPA (0821-6797-3562).
Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA).
Editor : Yoga Wowor
Sumber Berita : Adila Madani Staf Digital Media Yayasan PKPA