Camp Militer untuk Siswa Bermasalah? Kenapa Tidak!

- Penulis

Senin, 5 Mei 2025 - 12:52 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Nafian Faiz. Dok Pribadi. (suarautama.id)

Nafian Faiz. Dok Pribadi. (suarautama.id)

SUARA UTAMA- Saat Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), memutuskan mengirim siswa bermasalah ke camp militer selama enam bulan, riuh kritik pun pecah. Banyak yang menyebut kebijakan itu terlalu keras, bahkan dianggap melanggar hak anak. Tapi, apakah keras itu selalu salah? Atau justru itu tanda cinta yang tak takut tak populer?

Kita semua tahu, anak-anak zaman sekarang menghadapi godaan yang jauh lebih kompleks: narkoba, geng motor, perundungan digital, pornografi, hingga tawuran brutal. Ketika pendidikan formal tak lagi cukup membentuk karakter, maka perlu pendekatan lain yang lebih tegas, lebih nyata, dan terstruktur.

Saya tidak berbicara dari menara gading. Sebagai mantan Kepala Desa periode 2003–2008, saya pernah menghadapi langsung kenyataan pahit: remaja yang terseret kasus pidana ringan, atau warga yang baru keluar dari tahanan.

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Camp Militer untuk Siswa Bermasalah? Kenapa Tidak! Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tapi saya tak buru-buru menyerahkan mereka ke polisi. Saya beri pilihan: ikut pengajian bersama Jamaah Tabligh (program khuruj atau jaulah), atau berurusan dengan hukum.

Program ini bukan hukuman. Mereka tinggal di masjid, hidup sederhana, mendengar tausiah, belajar disiplin dan mengendalikan diri. Biayanya saya bantu dari kantong pribadi—karena saya percaya ini investasi akhlak.

Suatu hari, seorang warga yang baru keluar dari rutan saya minta ikut jaulah. Besok paginya, ia datang kembali bersama istrinya dan berkata: “Pak, saya nyerah. Dipenjara enam bulan saya kuat. Tapi ini baru semalam di masjid, rasanya lebih berat.”

BACA JUGA :  Hoaks, Politik, dan Ekonomi: Kepentingan di Balik Kebohongan Publik

Kami tertawa. Tapi di balik itu saya sadar: disiplin rohani jauh lebih berat daripada sekadar dikurung.

Dari pengalaman itu saya belajar, tidak semua orang bisa berubah hanya dengan bujukan lembut. Ada yang butuh diguncang dulu agar sadar. Maka ketika KDM menerapkan program pembinaan di camp militer, saya tidak serta-merta menolak.

Ya, pendekatannya militeristik. Tapi bukan berarti kejam. Bisa jadi, inilah bentuk shock therapy yang diperlukan—bukan untuk menghukum, tapi membekali mereka dengan struktur hidup, kedisiplinan, tanggung jawab, dan rasa hormat yang selama ini hilang.

Tentu, program ini harus disempurnakan: pendampingan psikologis, jaminan kelanjutan pendidikan, serta sentuhan spiritual yang menenangkan. Tapi substansi kebijakan ini perlu kita apresiasi—karena negara akhirnya hadir, tak hanya menyalahkan.

Saya percaya, perubahan karakter butuh dua hal: ketegasan dan kehangatan.

Gubernur memberi ketegasan lewat camp, sementara kita—orang tua, guru, tokoh masyarakat—harus hadir memberi kehangatan dan bimbingan setelahnya.

Anak-anak itu bukan musuh. Mereka sedang mencari jati diri. Kadang perlu diguncang agar sadar. Tapi setelah diguncang, kita harus menyambut mereka dengan cinta dan arah yang jelas.

Membina bukan sekadar memaafkan. Tapi menuntun dengan tegas. Karena kadang, jalan terjal adalah satu-satunya jalan pulang bagi jiwa yang sempat tersesat.

Penulis : Nafian Faiz, jurnalis tinggal di Lampung.

Berita Terkait

Krisis Penegakan Hukum di Indonesia
Pemerintah Sesuaikan PTKP 2025 untuk Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat
Kaleidoskop 2025: Bukan Sekadar Bencana Alam, tetapi Bencana Tata Kelola
Pernah Berhadapan dengan Hukum, Eko Wahyu Pramono Kini Aktif di Advokasi Publik
Memahami SP2DK dari Kacamata Wajib Pajak dan Fiskus
Moekajat Fun Camp 2025 #1 Sukses Digelar, Pererat Kebersamaan Keluarga Lintas Generasi
FES 2025 Dorong Kolaborasi Positif Generasi Muda Lewat Sport, Expo, dan SEKSOS
Opini: Bayi Panda Raksasa Pertama Indonesia — Harapan Baru Konservasi dari Pelukan Sang Induk
Berita ini 74 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 13 Desember 2025 - 15:21 WIB

Krisis Penegakan Hukum di Indonesia

Sabtu, 13 Desember 2025 - 11:16 WIB

Pemerintah Sesuaikan PTKP 2025 untuk Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat

Sabtu, 13 Desember 2025 - 11:11 WIB

Kaleidoskop 2025: Bukan Sekadar Bencana Alam, tetapi Bencana Tata Kelola

Jumat, 12 Desember 2025 - 18:30 WIB

Pernah Berhadapan dengan Hukum, Eko Wahyu Pramono Kini Aktif di Advokasi Publik

Jumat, 12 Desember 2025 - 17:49 WIB

Memahami SP2DK dari Kacamata Wajib Pajak dan Fiskus

Jumat, 12 Desember 2025 - 17:13 WIB

Moekajat Fun Camp 2025 #1 Sukses Digelar, Pererat Kebersamaan Keluarga Lintas Generasi

Jumat, 12 Desember 2025 - 16:54 WIB

FES 2025 Dorong Kolaborasi Positif Generasi Muda Lewat Sport, Expo, dan SEKSOS

Jumat, 12 Desember 2025 - 14:45 WIB

Opini: Bayi Panda Raksasa Pertama Indonesia — Harapan Baru Konservasi dari Pelukan Sang Induk

Berita Terbaru

Gambar Kegiatan Jambore Pos Yandu Kabupaten Subang 2025 – Sabtu, 13/12/2025.

Berita Utama

Jambore Posyandu Jadi Momentum, Honor Kader di Subang Dinaikkan

Sabtu, 13 Des 2025 - 22:45 WIB

Dr. Firman Tobing

Hukum

Krisis Penegakan Hukum di Indonesia

Sabtu, 13 Des 2025 - 15:21 WIB