Jogjakarta ( suarautama.id ) Peristiwa penembakan pada 31 Oktober 2025 di Kampung Pilig Ogom, Distrik Jila, Kabupaten Mimika, Papua Tengah, kembali memperlihatkan betapa rentannya masyarakat sipil di wilayah pegunungan Papua. Insiden tersebut bukan hanya menambah daftar panjang kekerasan, tetapi juga meninggalkan tekanan psikologis mendalam bagi warga yang terpaksa mengungsinya *maka harus bertangung jawab atas konfliknya. katanya*

Mahasiswa Mimika yang tergabung dalam Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Mimika (Ipmami) Se-Jawa Bali menegaskan bahwa situasi ini tidak bisa lagi dipandang sebagai “kejadian biasa” di daerah konflik. Menurut mereka, penderitaan warga Jila adalah alarm keras bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk menghentikan pola kekerasan yang terus berulang.
Ipmami sebut pola kekerasan yang berulang kali terhadap masyarakat sipil menunjukkan kegagalan negara dalam menghormati HAM, sekaligus mengabaikan trauma kolektif Papua akibat konflik jangka panjang. Menurut mereka, pendekatan keamanan yang berlebihan justru memperlebar luka sejarah dan memperdalam jarak antara masyarakat dan negara.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam pernyataan sikapnya, Ipmami *Joglo* menyampaikan empat tuntutan mendesak untuk keselamatan masyarakat Jila dan stabilitas Mimika:
1 Pemerintah kab. Mimika segera tanggung jawab atas penembakan almarhum tuan Elas
2 Segera utus tuntas pelaku penembakan almarhum tuan Elas

3 Tari pasukan TNI-POLRI non Organik maupun Organik dari Distrik Jila
4 Menuntut Presiden RI menarik pasukan TNI–Polri dari Tanah Papua, khususnya Distrik Jila, karena keberadaan aparat dalam jumlah besar dinilai memperburuk kondisi psikologis masyarakat.
5. Meminta Pemkab Mimika bertanggung jawab penuh atas situasi kemanusiaan di Jila, termasuk pemenuhan mandat perlindungan HAM sebagaimana diatur dalam UU No. 39/1999.

6. Menuntut jaminan perlindungan bagi masyarakat sipil sesuai UUD 1945 Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 30 ayat (4), bahwa negara wajib memberi rasa aman, bukan menambah penderitaan rakyat.
“Pemkab Mimika, DPRK, Lemasa, Lemasko, tokoh masyarakat, dan para kepala suku harus turun tangan. Hukum dan adat harus berjalan berdampingan untuk mengakhiri kekacauan ini,” ujarnya.
.
Ipmami menegaskan komitmennya untuk terus menyuarakan ketidakadilan di tanah kelahiran kami, hingga masyarakat kembali hidup aman dan terbebas dari lingkaran kekerasan yang tak kunjung berhenti.














