SUARA UTAMA, Palembang – Kamu pernah diperlakukan secara kasar ? Atau Kamu pernah memperlakukan orang dengan kasar ? Iya, betul. Saya yakin, sebagian besar kita pembaca pernah mengalaminya. Perlakukan kasar dimaksud baik secara verbal maupun nonverbal. Verbal maksudnya melalui lisan atau kata-kata. Sedang nonverbal seperti bahasa tubuh (body language), bahasa wajah (facial expression), kontak fisik, suara dan intonasi, bahasa gerakan (kinestetik) dan sebagainya.
Namun, terkadang setelah kita mendapat perlakuan kasar, justru kita berubah menjadi lebih baik atau menjadi tertib aturan. Demikian juga ketika kita memperlakukan seseorang secara kasar, justru orang tersebut menjadi berubah sesuai harapan. Penulis sendiri pernah beberapa kali mempunyai pengalaman seperti ini.
Pengalaman Pertama, sekitar pertengahan Oktober 2024 lalu seperti biasa pagi-pagi sekitar pukul 06.25 WIB saya mengantar anak perempuan saya ke sekolah menggunakan motor. Seperti biasanya juga saya pasti menggunakan helm, tapi tidak dengan anak perempuan saya. Karena saya pikir, jarak antara rumah dan sekolah tidak begitu jauh jadi tidak perlu pakai helm. Lagipula, banyak anak-anak sekolah SD sampai SLTA yang diantar keluarganya bermotor tidak menggunakan helm di berbagai tempat yang biasa saya lalui.
ADVERTISEMENT
![Baru Berubah Setelah Diperlakukan dengan Kasar, Apa Kata Psikolog 3 IMG 20240411 WA00381 Baru Berubah Setelah Diperlakukan dengan Kasar, Apa Kata Psikolog Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama](https://suarautama.id/wp-content/uploads/2024/04/IMG-20240411-WA00381.jpg)
SCROLL TO RESUME CONTENT
![Baru Berubah Setelah Diperlakukan dengan Kasar, Apa Kata Psikolog 4 Photo Tidak Pakai Helm Baru Berubah Setelah Diperlakukan dengan Kasar, Apa Kata Psikolog Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama](https://suarautama.id/wp-content/uploads/2025/02/Photo-Tidak-Pakai-Helm-250x190.jpeg)
Pada persimpangan empat lampu merah, saya menyetop motor kami sebagaimana motor dan mobil lainnya. Tiba-tiba datang seorang polisi, menyapa selamat pagi dan memberi hormat.
“Selamat pagi pak. Anaknya tidak pakai helm pak ?” tanya pak polisi.
“Eh iya pak, lupa pak tadi buru-buru mau cepat-cepat antar ke sekolahnya” jawabku ngeles.
“Sekolah dimana anaknya pak?” tanya pak polisi itu lagi, mengingat anak perempuan saya menggunakan pakaian bebas.
“Sekolah di SMAIT Bina Ilmi” ujarku sambil menunjukkan lokasi sekolah menggunakan telunjuk.
“Maaf pak, bisa lihat identitasnya…KTP atau SIM” permintaan pak polisi itu lagi.
“Ndak bawa pak” jawabku mulai ndak enak hati dan merasa bersalah.
“Anak bapak tidak pakai helm, bapak tidak bawa identitas juga. Apa perlu bapak saya doakan, bapak mengalami kecelakaan dan anak bapak mati..!!!” cetusnya kesal.
“Astaghfirullahal adzim, janganlah pak…Kami mohon maaf ya pak, kami memang salah. Insya Allah tidak kami ulangi lagi” jawabku sambil berjanji.
Saya sudah pasrah, kalau pak polisinya mau menilang. Namun pak polisinya hanya mengingatkan agar tidak diulangi lagi dan jika besok lusa ketemu lagi, maka akan diberikan sanksi tegas. Karena lampu lalu lintas sudah berwarna hijau, saya melanjutkan perjalanan mengantar anak ke sekolahnya sambil tak lupa sekali lagi meminta maaf dan mengucapkan terima kasih dengan pak polisi tersebut.
Ketika sampai di sekolah, saat anak perempuan saya mau menyalami dan mencium tangan saya, saya melihat mata anak saya sembab dan berlinang air mata.
“Ehhh kenapa, kok nangis..???” tanyaku penuh selidik.
“Dedek sedih tadi abi dimarahi pak polisi, didoakannya kita kecelakaan dan dedek mati..” jawabnya sambil sesegukan.
“Eh ndak apa-apa. Memang kita salah, karena adek ndak pakai helm. Mulai besok berarti adek mesti pakai helm terus, nanti kena tilang kita” jelasku sambil menghapus air mata di pipinya.
Praktis, keesokan harinya sampai hari ini setiap mengantar anak perempuan saya sekolah, kami pastikan ia memakai helm. Kalaupun lupa, tak segan kami balik lagi ke rumah untuk mengambil helm tersebut. So, pengalaman mendapat perlakukan kasar dari pak polisi tersebut memberi efek positif kepada saya dan anak perempuan saya.
Pengalaman Kedua, saya justru yang memberikan perlakuan kasar namun justru memberikan dampak positif. Pengalaman satu ini sekali-kali saya lakukan dengan peserta didik yang saja ajar, khususnya di FKIP Universitas PGRI Palembang. Namun biasanya saya memberikan perlakukan kasar, kalau sudah 2-3 kali diberikan perlakuan secara halus, tapi tidak mempan.
Ketika saya sedang mengajar, terkadang ada saja peserta didik yang bosan atau tidak memperhatikan yang justru ngobrol dengan teman sebelahnya sambil senyum-senyum. Kelakuan mereka tidak hanya mengganggu teman sekitarnya, namun terkadang mengganggu dan memecah konsentrasi saya dalam mengajar.
Saya terlebih dahulu biasanya menegur mereka menggunakan bahasa nonverbal, dengan cara tetap berbicara namun mata saya lama menatap mereka yang sedang mengobrol. Setelah beberapa menit kemudian, mereka masih juga asyik mengobrol. Selanjutnya. saya lakukan teguran halus dengan melontarkan himbauan secara umum dan menyeluruh di dalam kelas “Mohon perhatikan dulu ya apa yang saya jelaskan, kita giliran ngomongnya. Mohon yang sedang tidak fokus, fokus dulu ya…” himbauku.
Suasana kelas menjadi hening, maka saya melanjutkan kembali memberi pelajaran. Eh ternyata 2 orang yang dimaksud tadi, kembali ngobrol dan sambil senyum-senyum. Barangkali inilah yang dinamakan kita kehilangan dan kehabisan kesabaran ya…
“Hehh kamu berdua…bisa diam dulu ndak !!! Dari tadi pak perhatian ngobrol terus sambil senyum-senyum. Tidak nyadar ya, saya sudah sindir 2 kali. Tidak faham ya dengan kata-kata saya dan sindiran saya. Kalau mau ngobro terus…silahkan keluar…!!! Ngobrollah sepuasnya di luar, nanti setelah puas baru masuk lagi..” ceramahku dengan nada kasar.
Berharap mereka keluar, ternyata mereka tetap duduk di tempat dan menunduk malu tak berani menatap wajahku. Saya lanjutkan memberi pelajaran, dan uniknya 2 orang tadi diam dan tidak mengobrol lagi. Mereka memperhatikan dan mengikuti pelajaran dengan tertib sebagaimana peserta didik yang lain.
Setelah usai pembelajaran, mereka menghadap saya untuk meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi lagi. Saya menghargai dan mengapresiasi janji mereka, dan saya memberikan kesempatan kepada mereka untuk berubah. Uniknya lagi, pada pertemuan-pertemuan pembelajaran berikutnya, mereka berdua tidak lagi ngobrol dan senyum-senyum. Tuh kan, mereka berubah menjadi lebih baik setelah mendapat perlakukan kasar dari saya. Tidak bisa ditegor dan dinasehati secara halus dan baik-baik.
Lantas, bagaimana tanggapan psikolog atas fenomena di atas, mendapat perlakuan kasar terlebih dahulu baru mau berubah. Yuk kita perhatikan dan cermati tanggapan 2 psikolog berikut ini, Vera Bekti Rahayu, M.Psi, Psikolog yang tinggal di kota Palembang dan bertugas di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sumatera Selatan (DPPPA Prov. Sumsel) dan Hj.Gusmilizar, S.Psi, M.Psi, Psikolog yang tinggal di kota Depok dan bertugas sebagai dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Vera Bekti Rahayu mengatakan bahwa secara teori terdapat teori behavior atau teori prilaku. Ada teori reinforcement negatif. Pengertian negatif maksudnya melakukan kesalahan. Misalnya seorang anak yang melakukan kesalahan, didiamkan saja yang bersangkutan biar dia tidak enak karena merasa tidak diperhatikan.
Ada juga teori funisment negatif, lanjut Vera. Misalnya ada seorang anak hoby main games terus, maka diambil gadgetnya agar berhenti dari bermain games.
“Terdapat 3 komponen dari teori behaviour tersebut yang dapat merubah prilaku seseorang, yaitu situasi, respon dan konsekuensi. Tinggal fenomena-fenomena yang ada terkait sesorang baru mau berubah setelah mendapat perlakuan kasar, dikaitkan dengan teori tersebut yang lebih mendekati” jelas Vera.
Senada dengan Vera Bekti Rahayu, Gusmilizar memberikan tanggapan bahwa bila ada kejadian seperti fenomena tersebut di lapangan, perlu penyikapan tersendiri. Terkait dengan masalah tersebut, sekarang kan sedang trend mendidik tidak dengan kekerasan. Perlu ditempa dengan baik untuk membentuk prilaku dan karakter tertentu.
Ibu yang biasa disapa mbak Igus ini menambahkan, ini berarti baru berubah setelah diperlakukan dengan kasar. Pada orang-orang tertentu memang tidak bisa dengan kelembutan, tapi dengan kekerasan baru berubah. Tapi tidak bisa disamaratakan ya, tergantung pada kepribadian atau prilaku orang tersebut.
“Dalam konteks Islam, kita justru harus berlaku lemah lembut dalam mendidik, menegur dan menasehati. Jangan sampai ditarik kesimpulan bahwa seolah-olah seseorang itu baru berubah setelah mendapatkan perlakuan kasar” kata isteri bapak Wijayanto yang pernah lama bermukim di kota Palembang ini.
Penulis : Zahruddin Hodsay
Editor : Zahruddin Hodsay
Sumber Berita : Berbagai Sumber