Asas De Gustibus Non Est Disputandum

- Penulis

Rabu, 29 Oktober 2025 - 16:04 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi suasana klasik Romawi menggambarkan filosofi De Gustibus Non Est Disputandum sebuah asas yang menekankan bahwa selera tidak dapat diperdebatkan. Gambar ini mencerminkan makna toleransi, kebebasan berekspresi, dan penghargaan terhadap perbedaan pandangan estetika.

Ilustrasi suasana klasik Romawi menggambarkan filosofi De Gustibus Non Est Disputandum sebuah asas yang menekankan bahwa selera tidak dapat diperdebatkan. Gambar ini mencerminkan makna toleransi, kebebasan berekspresi, dan penghargaan terhadap perbedaan pandangan estetika.

SUARA UTAMA – Surabaya, 29 Oktober 2025 –  Di tengah maraknya perdebatan di media sosial mengenai selera musik, film, dan kuliner, istilah Latin “De gustibus non est disputandum” kembali mencuri perhatian publik. Ungkapan yang berarti “selera tidak dapat diperdebatkan” ini mengingatkan masyarakat bahwa setiap individu memiliki pandangan dan preferensi yang bersifat subjektif serta tidak dapat diukur dengan standar yang sama.

Fenomena tersebut bermula dari viralnya sejumlah unggahan di platform X (Twitter) dan TikTok yang memperlihatkan perdebatan antarwarganet terkait tren hiburan dan gaya hidup. Sebagian pihak menilai selera tertentu “tidak berkualitas”, sementara yang lain menegaskan bahwa setiap orang bebas mengekspresikan preferensinya. Sejak saat itu, tagar #DeGustibus ramai digunakan sebagai simbol toleransi terhadap perbedaan pandangan dan selera pribadi.

Pakar bahasa Dr. Laksmi Wirawan menjelaskan bahwa ungkapan ini berasal dari masa Romawi kuno dan hingga kini masih relevan dalam konteks sosial modern.

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Asas De Gustibus Non Est Disputandum Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Asas ini menekankan pentingnya menghormati perbedaan pandangan estetika. Apa yang dianggap indah oleh seseorang, belum tentu demikian bagi orang lain,” ujarnya kepada Media Nasional.

Pandangan lain datang dari Yulianto Kiswocahyono, S.E., S.H., BKP, seorang praktisi hukum dan perpajakan, yang menilai bahwa asas De gustibus non est disputandum memiliki makna mendalam dalam konteks sosial dan hukum modern.

“Dalam perspektif hukum dan etika sosial, asas ini mengingatkan kita untuk tidak menilai pilihan atau selera seseorang secara sepihak. Selama tidak melanggar hukum, preferensi pribadi adalah hak individu yang harus dihormati,” jelas Yulianto.
Ia menambahkan, penerapan asas ini penting terutama dalam dunia profesional, agar masyarakat tidak mudah menghakimi keputusan atau gaya hidup orang lain berdasarkan standar subjektif.
“Kita perlu membangun budaya toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan, baik dalam kehidupan sosial maupun praktik profesional,” tegasnya.

BACA JUGA :  Penuh Antusias, Solidaritas untuk Palestina Nobar Film Hayya 3 GAZA 

Sementara itu, Eko Wahyu Pramono, S.Ak., praktisi hukum lainnya, menilai bahwa asas ini dapat menjadi dasar moral dalam membangun masyarakat yang inklusif.

“Asas ini mengajarkan pentingnya menghargai perbedaan tanpa harus memperdebatkannya. Dalam hukum sosial, hal ini relevan untuk mencegah diskriminasi berbasis preferensi atau gaya hidup,” ungkapnya.

Perbincangan mengenai asas ini terus berkembang di ruang digital, mencerminkan bagaimana masyarakat modern menghadapi keragaman opini di dunia maya. Dalam konteks yang lebih luas, De gustibus non est disputandum menjadi pengingat bahwa keanekaragaman selera bukanlah pemisah, melainkan wujud kekayaan budaya dan pengalaman manusia.

Asas tersebut menegaskan bahwa selera bersifat personal dan tidak seharusnya menjadi sumber konflik. Di era keterbukaan informasi seperti sekarang, menghormati perbedaan menjadi bagian penting dari etika bermedia sosial dan kehidupan bermasyarakat.
Lebih dari sekadar ungkapan klasik, De gustibus non est disputandum adalah refleksi tentang bagaimana manusia dapat hidup berdampingan dengan segala perbedaan yang ada.

 

Penulis : Odie Priambodo

Editor : Andre Hariyanto

Sumber Berita : Wartawan Suara Utama

Berita Terkait

Semakin Memanas, Terindikasi Dugaan Pesanan Dalam Rotasi/Mutasi Pegawai Perumda Air Minum Tirta Argapura 
Umat Stase Goodide Gelar Renungan Pendalaman Masa Adven: Keluarga dalam Terang Iman 
Warga Desa Tegalwatu di Dampingi Pakopak, Terduga Pelaku Penipuan Asli Kelahiran Dusun Klagin Desa Brabe
Rakor Kecamatan Dorong Efektivitas Program Tata Kelola Pemerintahan Responsif
Polsek Tabir Bergerak Cepat Usai Viral Dugaan Penampungan Emas Ilegal Milik Badi
Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  
Program Rehabilitasi Lapas IIB Bangko Berakhir, 20 WBP Tunjukkan Hasil Positif Pemulihan
Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia
Berita ini 58 kali dibaca

Berita Terkait

Jumat, 5 Desember 2025 - 19:21 WIB

Semakin Memanas, Terindikasi Dugaan Pesanan Dalam Rotasi/Mutasi Pegawai Perumda Air Minum Tirta Argapura 

Jumat, 5 Desember 2025 - 18:08 WIB

Umat Stase Goodide Gelar Renungan Pendalaman Masa Adven: Keluarga dalam Terang Iman 

Jumat, 5 Desember 2025 - 12:32 WIB

Warga Desa Tegalwatu di Dampingi Pakopak, Terduga Pelaku Penipuan Asli Kelahiran Dusun Klagin Desa Brabe

Jumat, 5 Desember 2025 - 11:26 WIB

Rakor Kecamatan Dorong Efektivitas Program Tata Kelola Pemerintahan Responsif

Kamis, 4 Desember 2025 - 20:58 WIB

Polsek Tabir Bergerak Cepat Usai Viral Dugaan Penampungan Emas Ilegal Milik Badi

Kamis, 4 Desember 2025 - 19:14 WIB

Program Rehabilitasi Lapas IIB Bangko Berakhir, 20 WBP Tunjukkan Hasil Positif Pemulihan

Kamis, 4 Desember 2025 - 16:12 WIB

Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia

Kamis, 4 Desember 2025 - 14:37 WIB

Tinjau Proyek Jalan Rp1,3 Miliar di Pamanukan, Bupati Subang Tegaskan: Tidak Ada Anak Emas, Semua Wilayah Prioritas

Berita Terbaru