SUARA UTAMA – Surabaya, 8 November 2025 Kebijakan terbaru Kementerian Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 menuai perhatian dari kalangan akademisi, praktisi, dan organisasi Wajib Pajak. Ketentuan Pasal 12A dalam regulasi tersebut dinilai memperluas kewenangan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk meminjam atau meminta dokumen Wajib Pajak (WP) dalam rangka “menguji kepatuhan”, meskipun belum terdapat bukti pelanggaran yang konkret.
Secara normatif, istilah “menguji kepatuhan” memang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Namun, menurut sejumlah pakar hukum pajak, perluasan kewenangan tersebut menimbulkan ambiguitas yuridis dan potensi ketidakpastian hukum. Pemeriksa pajak kini dapat mengakses dokumen WP tanpa adanya bukti awal ketidakpatuhan, cukup dengan alasan “pengujian kepatuhan”.
“Pasal ini secara tidak langsung melegalkan tindakan pemeriksa berbasis asumsi,” ujar Eko Wahyu Pramono, S.Ak., praktisi pajak, anggota Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), sekaligus pemegang Izin Kuasa Hukum (IKH) Pengadilan Pajak, saat dimintai tanggapan oleh Suara Utama, Sabtu (8/11).
“Secara administratif memang sah, tetapi secara substansial menimbulkan risiko pelanggaran asas kepastian hukum dan proporsionalitas. Pemeriksa dapat melakukan tindakan seolah-olah ada pelanggaran, padahal belum tentu ada bukti awal,” tambahnya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Eko menilai bahwa seharusnya “pengujian kepatuhan” memiliki batas objektif yang jelas agar tidak berubah menjadi bentuk dugaan sepihak. Menurutnya, peminjaman dokumen tanpa dasar indikasi kuat bisa menjadi beban administratif bagi WP yang sebenarnya patuh.
Sebagai anggota IWPI, Eko juga menyoroti ketimpangan posisi antara fiskus dan Wajib Pajak dalam pelaksanaan pemeriksaan.
“Kami di IWPI memandang perlu adanya pembatasan yang jelas terhadap ruang lingkup pemeriksaan. DJP harus memastikan bahwa tindakan pemeriksa benar-benar proporsional dan berbasis data, bukan asumsi,” ujarnya.
Dalam praktiknya, pemeriksaan pajak memang sering dilakukan terhadap WP yang dianggap berisiko tinggi atau memiliki ketidaksesuaian data antara SPT dan data eksternal. Namun dengan adanya Pasal 12A, ruang pemeriksaan menjadi semakin luas tanpa batas eksplisit, sehingga potensi penyalahgunaan kewenangan semakin besar.
“Kalau DJP ingin menjaga kredibilitas pemeriksaan, maka transparansi prosedur dan pengawasan internal harus diperkuat. Jangan sampai fungsi pembinaan berubah menjadi fungsi represif,” tegas Eko.
Sementara itu, sejumlah akademisi juga menilai ambiguitas ini memperlihatkan pergeseran fungsi pemeriksaan pajak dari mekanisme pengawasan menjadi alat penegakan hukum yang berorientasi pada koreksi fiskal. Pemeriksaan tidak lagi netral, melainkan berangkat dari asumsi ketidakpatuhan yang harus dibuktikan.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Kementerian Keuangan belum memberikan penjelasan resmi terkait mekanisme kontrol dan batasan pelaksanaan Pasal 12A tersebut. Para pengamat dan organisasi Wajib Pajak, termasuk IWPI, mendesak agar beleid ini segera dievaluasi untuk memastikan keseimbangan antara efektivitas pengawasan dan perlindungan hak-hak Wajib Pajak.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














