SUARA UTAMA- Langit pagi di kawasan eks Dipasena Rawajitu Timur, Tulang Bawang, Lampung, tampak lengang. Angin menyusuri pematang, menyapa tambak-tambak tua yang menjadi nadi kehidupan ribuan keluarga. Namun, suasana itu kini berubah. Ada keresahan yang menggumpal di udara—bukan karena gagal panen atau serangan hama semata, melainkan juga karena sesuatu yang datang dari negeri jauh: kebijakan anti-dumping dalam tiga tahun terakhir, serta tarif bea masuk tinggi yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat saat ini, Donald Trump.
Sejak diberlakukannya bea masuk tambahan terhadap udang Indonesia—yang disebut-sebut mencapai lebih dari 30 persen—harga jual udang di tingkat petambak terus anjlok. Pembeli menahan diri. Bahkan beberapa coldstorage dikabarkan tutup. Sementara itu, ongkos produksi terus merangkak naik. Dampaknya dirasakan langsung oleh petambak kecil seperti Pak Rosid.
Sudah puluhan tahun ia menggantungkan hidup pada tambak udang, tetapi kini langkahnya terasa berat. Tambaknya tetap ia rawat, namun asa di dalam dada makin pudar.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Petambak seperti Pak Rosid bukanlah eksportir. Mereka tidak punya akses ke meja perundingan dagang, tidak pernah diundang ke forum WTO. Yang mereka miliki hanyalah kolam, jaring, dan harapan. Maka ketika usaha mereka dianggap sebagai ancaman pasar oleh negara tujuan ekspor, yang muncul hanyalah kebingungan. Apa salah kami?
Tuduhan dumping dan bea masuk tinggi terasa seperti ironi. Sebab petambak kecil justru bekerja dalam keterbatasan, bukan merusak harga pasar. Mereka bukan bagian dari sistem industri besar yang bisa memanipulasi pasar global. Mereka adalah pekerja keras yang seharusnya mendapat pengakuan—bukan hukuman.
Masalah ini bukan sekadar urusan tarif. Ini menyentuh langsung urat nadi ekonomi rakyat kecil. Di Dipasena dan banyak kawasan tambak lainnya, udang bukan sekadar komoditas. Ia adalah sumber kehidupan, pembiaya sekolah anak-anak, penggerak ekonomi desa. Jika harga terus jatuh, maka yang terancam bukan hanya pendapatan, tetapi juga keberlangsungan komunitas tambak secara keseluruhan.
Pemerintah Indonesia perlu bersikap tegas. Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan harus bersinergi. Ini bukan sekadar urusan ekspor, tapi menyangkut keadilan dalam perdagangan global. Diplomasi ekonomi harus digiatkan untuk meluruskan tuduhan yang tak berdasar, dan memperjuangkan pembukaan kembali akses pasar yang adil.
Lebih dari itu, pemerintah perlu membangun alternatif. Mengembangkan pasar domestik dan regional, memperkuat hilirisasi produk perikanan, serta memberikan insentif fiskal bagi koperasi petambak yang ingin memasarkan hasilnya secara langsung ke konsumen. Di sisi lain, platform digital yang menghubungkan petambak dengan pembeli dalam negeri dan luar negeri harus didorong agar rantai pasok bisa lebih efisien dan transparan.
Pasar global memang keras, tetapi negara tak boleh lemah. Jika tidak, air tambak seperti milik Pak Rosid akan tetap beriak, tapi kehidupan di dalamnya akan perlahan memudar. Dan bersamanya, asa yang selama ini dijaga dengan sepenuh tenaga akan ikut tenggelam.
Belum terlambat untuk bertindak. Tambak bukan sekadar tempat membesarkan udang. Ia adalah tempat lahirnya harapan. Dan negara berkewajiban untuk menjaga agar harapan itu tidak hanyut dalam gelombang ketidakadilan global.
Penulis : Aswadi Sy ( Petani Tambak Udang Dipasena Lampung)
Editor : Nafian Faiz