SUARA UTAMA — Surabaya, 2 Desember 2025 — Pemerintah melalui Kementerian Ekonomi Kreatif (Kemenekraf) tengah mempercepat proses rekonstruksi kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) atas royalti penulis. Langkah percepatan ini menjadi respons terhadap keluhan yang selama ini disuarakan penulis, penerbit, serta pelaku industri literasi yang menilai mekanisme perpajakan masih terlalu rumit dan belum sesuai dengan karakter kerja kreatif.
Deputi Bidang Kreativitas Media Kemenekraf, Agustini Rahayu, menegaskan bahwa penulis adalah fondasi ekosistem intelektual dan budaya nasional. Karena itu, menurutnya, kebijakan perpajakan yang mengatur para penulis harus bersifat adil, sederhana, serta tidak menghambat ruang kreasi.
“Penulis adalah fondasi perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya bangsa. Kebijakan yang melingkupi mereka harus adil dan memudahkan, bukan membatasi kreativitas,” ungkap Agustini.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menambahkan bahwa penyederhanaan skema pajak menjadi kebutuhan mendesak agar penulis dapat berkarya tanpa terbebani proses administratif yang berbelit.
Direktur Penerbitan dan Fotografi Kemenparekraf, Iman Santoso, menyampaikan bahwa saat ini pemerintah menargetkan penyelesaian naskah akademik sebagai dasar penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang akan digarap pada 2026.
“Kami ingin regulasi yang dihasilkan nantinya benar-benar memberikan manfaat nyata dan meningkatkan kesejahteraan seluruh pelaku industri literasi,” ujar Iman.
Selama ini, royalti penulis dikenakan PPh melalui mekanisme Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). Namun skema tersebut dipandang kurang relevan dengan sifat pendapatan penulis yang fluktuatif dan karakter profesi yang mandiri serta kreatif. Selain itu, NPPN dinilai menambah beban administratif yang tidak sebanding bagi para penulis.
Guru Besar Kebijakan Pajak Universitas Indonesia, Prof. Haula Rosdiana, menilai bahwa industri literasi semestinya diperlakukan dengan pendekatan perpajakan yang sederhana dan efisien.
“Kalau kita bicara tentang industri literasi, prinsipnya adalah No Tax on Knowledge. Regulasi perpajakan tidak boleh menjadi hambatan bagi penyebaran pengetahuan,” tegas Haula.
Penulis senior Asma Nadia turut mengapresiasi langkah pemerintah yang dinilai semakin serius dalam mendorong revisi kebijakan. Ia menyebut perjuangan penulis untuk mendapatkan aturan perpajakan yang lebih ramah sudah berlangsung sekitar tujuh tahun.
“Kami sangat berterima kasih atas kesungguhan pemerintah. Bertahan sebagai penulis bukan hal mudah, dan kebijakan yang lebih mendukung tentu sangat berarti,” ujarnya.
Komentar Yulianto Kiswocahyono: Reformasi Pajak Penulis Harus Berpijak pada Keadilan dan Kepastian
Praktisi pajak sekaligus Ketua Komite Tetap Bidang Fiskal dan Moneter KADIN Jawa Timur, Yulianto Kiswocahyono, S.E., S.H., BKP, menilai percepatan reformasi kebijakan PPh royalti penulis merupakan langkah yang tepat dan sudah saatnya dilakukan. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh yang aktif mendorong perbaikan tata kelola perpajakan, khususnya dalam sektor kreatif.
“Karakter pendapatan penulis sangat fluktuatif dan ekosistem kreatif bekerja tidak seperti sektor formal pada umumnya. Karena itu, skema perpajakan harus mampu merefleksikan realitas tersebut. Reformasi PPh royalti adalah kebutuhan agar regulasi lebih adil, jelas, dan tidak membebani penulis dengan administrasi yang berlebihan,” ujar Yulianto.
Ia menegaskan bahwa kebijakan pajak yang baik selayaknya mendukung pertumbuhan ekosistem kreatif nasional, bukan justru membatasi ruang inovasi.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














