SUARA UTAMA — Surabaya, 28 November 2025 — Putusan Pengadilan Pajak terkait sengketa antara PT Arion Indonesia dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menuai perhatian setelah pihak wajib pajak menilai adanya kekeliruan dalam pencantuman serta penilaian alat bukti. Putusan Nomor PUT-007055.99/2024/PP/M.XIVA, yang dibacakan pada 19 November 2025, resmi menolak gugatan PT Arion Indonesia atas sengketa SKPKB PPh Badan senilai lebih dari Rp5,14 miliar.
Majelis hakim yang mengadili perkara ini dipimpin oleh Dudi Wahyudi, Ak., M.M., didampingi Winarsih, S.P., S.H., M.M., dan Untung Setyo Margono, S.S.T., Ak., M.S.E., M.P.P.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Perbedaan Dokumen Memicu Pertanyaan
Dalam persidangan, PT Arion Indonesia menyerahkan Kesimpulan Akhir setebal 68 halaman, sementara DJP menyerahkan dokumen serupa sebanyak 35 halaman. Namun, putusan akhir majelis hanya setebal 36 halaman.
Pihak PT Arion Indonesia menilai ketidakseimbangan jumlah halaman ini sebagai indikasi bahwa tidak semua bukti telah dicantumkan atau dipertimbangkan, sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 84 ayat (1) huruf f UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Hingga berita ini diturunkan, tim majelis hakim Pengadilan Pajak belum memberikan tanggapan resmi atas kritik tersebut.
Enam Poin Keberatan dari Wajib Pajak
Berdasarkan analisis internal PT Arion Indonesia serta kajian ahli, setidaknya terdapat beberapa isu yang dipersoalkan:
1. Penentuan Pokok Sengketa Dinilai Tidak Tepat
Majelis dianggap hanya fokus pada Pasal 25 ayat (3a) UU KUP mengenai syarat pelunasan berdasarkan “nilai yang disetujui”, padahal PT Arion menyatakan tidak pernah menyetujui angka SKPKB tersebut.
2. Dugaan Pengabaian Bukti Kunci
Beberapa bukti, seperti perbandingan tanggapan SPHP I/II, dokumen e-Dropbox, serta bukti ketidaksepakatan nilai, disebut tidak muncul dalam uraian putusan.
3. Penilaian Fakta Persetujuan Dianggap Tidak Konsisten
Wajib pajak menegaskan tidak pernah menandatangani Berita Acara Pembahasan Akhir, namun majelis tetap menyimpulkan adanya “nilai disetujui”.
4. Keterangan Ahli Tidak Dianalisis Secara Memadai
Keterangan ahli pajak independen dinilai hanya dicatat tanpa penjabaran analisis hukum.
5. Penerapan Pasal 25(3a) UU KUP Dinilai Tidak Tepat
Majelis menerapkan syarat pelunasan keberatan meski syarat dasarnya dianggap tidak terpenuhi.
6. Penyajian Fakta dalam Putusan Dinilai Tidak Komprehensif
Beberapa fakta persidangan disebut tidak tercermin dalam putusan.
Pendapat Ahli dari P5I
Ketua Umum Perkumpulan Profesi Pengacara dan Praktisi Pajak Indonesia (P5I), Dr. Alessandro Rey, turut memberikan pandangan setelah menelaah putusan tersebut.
“Putusan semestinya memuat pertimbangan terhadap seluruh bukti yang diajukan. Jika ada bukti yang tidak dinilai atau tidak ditampilkan, hal itu perlu diperiksa lebih jauh apakah merupakan kekurangan administrasi atau bentuk kekeliruan,” ujar Dr. Rey.
Pihak P5I menegaskan bahwa pernyataannya bersifat teknis-profesional dan tidak dimaksudkan untuk menilai integritas pribadi hakim.
PT Arion Indonesia Pertimbangkan Upaya Hukum Selanjutnya
PT Arion Indonesia menyatakan tengah mengkaji langkah hukum lanjutan sesuai ketentuan Undang-Undang Pengadilan Pajak, termasuk kemungkinan pengajuan peninjauan kembali.
Sebagai bentuk keberimbangan, SUARA UTAMA juga membuka ruang bagi DJP maupun Pengadilan Pajak apabila ingin memberikan klarifikasi atau tanggapan resmi terkait isu ini
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














