SUARA UTAMA – Surabaya, 6 November 2025 — Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil dalam satu dekade terakhir menciptakan kelompok kelas menengah yang semakin besar. Di berbagai kota, gaya hidup masyarakat tampak semakin modern dan konsumtif. Namun di balik peningkatan daya beli, para ekonom mengingatkan bahwa kesejahteraan kelompok ini masih rapuh dan bergantung pada utang serta cicilan.
Fenomena tersebut disebut menyerupai “Chilean Paradox”, istilah yang menggambarkan kondisi ketika masyarakat tampak sejahtera di permukaan, tetapi rentan secara ekonomi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Gaya Hidup Naik, Tapi Keamanan Finansial Menurun
Kelas menengah kini mudah ditemukan di berbagai pusat perbelanjaan, kafe, dan tempat hiburan. Gaji bulanan cukup untuk membayar cicilan rumah, kendaraan, serta memenuhi kebutuhan gaya hidup. Namun di balik kemapanan itu, banyak rumah tangga belum memiliki dana darurat atau tabungan jangka panjang.
“Sekali ada anggota keluarga sakit atau terkena PHK, keuangan bisa langsung goyah. Banyak yang akhirnya berutang untuk bertahan,” tulis Yossy Girsang, kreator konten dan penulis ekonomi sosial, dalam unggahannya berjudul “Ternyata Rapuh – Chilean Paradox.”
Belajar dari Chile: Pertumbuhan Tanpa Ketenangan
Fenomena serupa pernah terjadi di Chile pada dekade 2010-an, seperti dijelaskan oleh ekonom Chatib Basri dalam artikelnya di Kompas. Saat itu, pertumbuhan ekonomi tinggi melahirkan kelas menengah baru dengan daya konsumsi besar. Namun, sebagian besar masyarakat hidup tanpa rasa aman finansial.
“Mereka mampu membeli iPhone, tapi tidak punya tabungan. Hidup tampak modern, tapi sangat rentan,” ujar Chatib Basri. Dari sinilah istilah “Chilean Paradox” lahir ekonomi tumbuh, tetapi kesejahteraan sosial tidak kokoh.
Kerapuhan Kelas Menengah di Indonesia
Kondisi serupa mulai terasa di Indonesia. Banyak keluarga kelas menengah hidup dari cicilan ke cicilan. Data dari berbagai lembaga riset menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat di kelompok ini memiliki utang konsumtif, seperti kredit kendaraan, kartu kredit, atau pinjaman daring.
Minimnya dana darurat dan perlindungan sosial membuat kelompok ini rentan terhadap guncangan kecil, seperti kenaikan harga kebutuhan pokok atau kehilangan pekerjaan. Para ahli menilai hal ini bisa menjadi risiko sosial di masa depan jika tidak diantisipasi dengan kebijakan yang tepat.
Komentar Praktisi Pajak
Eko Wahyu Pramono, S.Ak., Praktisi Pajak dan Pemegang Izin Kuasa Hukum (IKH) Pajak, menilai fenomena ini tidak hanya berdampak pada rumah tangga, tetapi juga pada stabilitas fiskal negara.
“Kerapuhan kelas menengah bisa menimbulkan efek domino terhadap penerimaan pajak dan ketimpangan ekonomi. Ketika daya beli ditopang oleh utang, bukan produktivitas, maka konsumsi tidak berkelanjutan. Jika terjadi krisis, beban fiskal negara akan meningkat karena tuntutan bantuan sosial,” ujar Eko.
Ia menambahkan bahwa edukasi keuangan dan penguatan sistem pajak progresif menjadi penting untuk menjaga keseimbangan ekonomi.
“Kelas menengah harus didorong untuk menabung, berinvestasi, dan melindungi asetnya. Pemerintah pun perlu mengarahkan kebijakan fiskal agar lebih berpihak pada pembentukan ketahanan ekonomi masyarakat, bukan sekadar konsumsi,” lanjutnya.
Peringatan untuk Pemerintah dan Masyarakat
Para ekonom menegaskan pentingnya memperkuat ketahanan ekonomi rumah tangga melalui edukasi keuangan, peningkatan produktivitas, dan kebijakan perlindungan sosial yang lebih inklusif.
“Pertumbuhan ekonomi tidak cukup hanya diukur dari konsumsi, tetapi juga dari kemampuan masyarakat menghadapi krisis,” ujar Chatib Basri.
Kesimpulan
Fenomena Chilean Paradox menjadi pengingat bahwa kemakmuran sejati tidak diukur dari gaya hidup konsumtif, melainkan dari kemampuan masyarakat untuk bertahan dalam situasi sulit.
Tanpa keseimbangan antara konsumsi dan keamanan finansial, pertumbuhan ekonomi berisiko menciptakan ilusi kemapanan rapuh dan mudah runtuh ketika badai datang.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














